Baitul Maal wat Tamwil
Lembaga keuangan Syariah Non Bank
Mata Kuliah : Keuangan Syariah
PENDAHULUAN
1. Pengertian Baitul Mal wat Tamwil (BMT)
BMT adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil (syari’ah), menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dan kecil dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin. Secara konseptual, BMT memiliki dua fungsi : Baitul Tamwil (Bait = Rumah, at Tamwil = Pengembangan Harta) - melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil terutama dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya. Baitul Maal (Bait = Rumah, Maal = Harta) – menerima titipan dana zakat, infak dan shadaqah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya.
2. Dasar atau badan hukum didirikannya BMT
Dasar hukum didirikannya BMT adalah Al-qur’an surat At-Taubah ayat 60 dan103 dimana ayat tersebut menerangkan tentang kewajiban zakat terhadap umat Islam, pada masa Rasulullah SAW pemengutan Zakat belum tertata dengan rapi serta belum ada lembaga yang menampung hasil zakat tersebut oleh karena itu Rasulullah membuat kebijakan untuk membangun lembaga khusus untuk menaruh uang dari hasil zakat tersebut yang diberi nama Baitul Maal.
3. Sejarah Perkembangan Baitul Mal wat Tamwil (BMT)
3.1. Masa Rasulullah SAW (1-11 H/622-632 M)
Pada masa Rasulullah SAW ini, Baitul Mal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak (al-jihat) yang menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran. Saat itu Baitul Mal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta, karena saat itu harta yang diperoleh belum begitu banyak. Kalaupun ada, harta yang diperoleh hampir selalu habis dibagi bagikan kepada kaum muslimin serta dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka. Rasulullah SAW senantiasa membagikan ghanimah dan seperlima bagian darinya (al-akhmas) setelah usainya peperangan, tanpa menunda nundanya lagi. Dengan kata lain, beliau segera menginfakkannya sesuai peruntukannya masing-masing.
3.2. Masa Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Abu Bakar dikenal sebagai Khalifah yang sangat wara’ (hati-hati) dalam masalah harta. Bahkan pada hari kedua setelah beliau dibai’at sebagai Khalifah, beliau tetap berdagang dan tidak mau mengambil harta umat dari Baitul Mal untuk keperluan diri dan keluarganya. Diriwayatkan oleh lbnu Sa’ad (w. 230 H/844 M), penulis biografi para tokoh muslim, bahwa Abu Bakar yang sebelumnya berprofesi sebagai pedagang membawa barang-barang dagangannya yang berupa bahan pakaian di pundaknya dan pergi ke pasar untuk menjualnya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin Khaththab. Umar bertanya, “Anda mau kemana, hai Khalifah?” Abu Bakar menjawab, “Ke pasar.” Umar berkata, “Bagaimana mungkin Anda melakukannya, padahal Anda telah memegang jabatan sebagai pemimpin kaum muslimin?” Abu Bakar menjawab, “Lalu dari mana aku akan memberikan nafkah untuk keluargaku?” Umar berkata, “Pergilah kepada Abu Ubaidah (pengelola Baitul Mal), agar ia menetapkan sesuatu untukmu.” Keduanya pun pergi menemui Abu Ubaidah, yang segera menetapkan santunan (ta’widh) yang cukup untuk Khalifah Abu Bakar, sesuai dengan kebutuhan seseorang secara sederhana, yakni 4000 dirham setahun yang diambil dan Baitul Mal.
3.3. Masa Khalifah Umar bin Khaththab (13-23 H/634-644 M)
Selama memerintah, Umar bin Khaththab tetap memelihara Baitul Mal secara hati-hati, menerima pemasukan dan sesuatu yang halal sesuai dengan aturan syariat dan mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Dalam salah satu pidatonya, yang dicatat oleh lbnu Kasir (700-774 H/1300-1373 M), penulis sejarah dan mufasir, tentang hak seorang Khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang di antara orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.” (Dahlan, 1999).
3.4. Masa Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Kondisi yang sama juga berlaku pada masa Utsman bin Affan. Namun, karena pengaruh yang besar dan keluarganya, tindakan Usman banyak mendapatkan protes dari umat dalam pengelolaan Baitul Mal. Dalam hal ini, lbnu Sa’ad menukilkan ucapan Ibnu Syihab Az Zuhri (51-123 H/670-742 M), seorang yang sangat besar jasanya dalam mengumpulkan hadis, yang menyatakan, “Usman telah mengangkat sanak kerabat dan keluarganya dalam jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa pemerintahannya. Ia memberikan khumus (seperlima ghanimah) kepada Marwan yang kelak menjadi Khalifah ke-4 Bani Umayyah, memerintah antara 684-685 M dari penghasilan Mesir serta memberikan harta yang banyak sekali kepada kerabatnya dan ia (Usman) menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan oleh Allah SWT. Ia juga menggunakan harta dan meminjamnya dari Baitul Mal sambil berkata, ‘Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka dari Baitul Mal, sedangkan aku telah mengambilnya dan membagi-bagikannya kepada sementara sanak kerabatku.’ Itulah sebab rakyat memprotesnya.” (Dahlan, 1999).
3.5. Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Talib, kondisi Baitul Mal ditempatkan kembali pada posisi yang sebelumnya. Ali, yang juga mendapat santunan dari Baitul Mal, seperti disebutkan oleh lbnu Kasir, mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi tubuh sampai separo kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan tambalan.
3.6. Masa Khalifah-Khalifah Sesudahnya
Ketika Dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi Baitul Mal berubah. Al Maududi menyebutkan, jika pada masa sebelumnya Baitul Mal dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat, maka pada masa pemerintahan Bani Umayyah Baitul Mal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat (Dahlan, 1999).
3.7. Sejarah BMT di Indonesia
Sejarah BMT ada di Indonesia, dimulai tahun 1984 dikembangkan mahasiswa ITB di Masjid Salman yang mencoba menggulirkan lembaga pembiayaan berdasarkan syari’ah bagi usaha kecil. Kemudian BMT lebih di berdayakan oleh ICMI sebagai sebuah gerakan yang secara operasional ditindaklanjuti oleh Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). BMT adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil (syari’ah), menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dan kecil dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin. Secara konseptual, BMT memiliki dua fungsi : Baitul Tamwil (Bait = Rumah, at Tamwil = Pengembangan Harta) - melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil terutama dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya. Baitul Maal (Bait = Rumah, Maal = Harta) – menerima titipan dana zakat, infak dan shadaqah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan pertaturan dan amanahnya.
4. Visi dan Misi serta Tujuan di dirikannya BMT
Visi BMT adalah mewujudkan kualitas masyarakat di sekitar BMT yang selamat, damai dan sejahtera dengan mengembangkan lembaga dan usaha BMT dan POKUSMA yang maju berkembang, terpercaya, aman, nyaman, transparan, dan berkehati-hatian.
Misi BMT adalah mengembangkan POKUSMA dan BMT yang maju berkembang, terpercaya, aman, nyaman, transparan, dan berkehati-hatian sehingga terwujud kualitas masyarakat di sekitar BMT yang selamat, damai dan sejahtera.
BMT bertujuan mewujudkan kehidupan keluarga dan masyarakat di sekitar BMT yang selamat, damai dan sejahtera.Untuk mencapai visi dan pelaksanaan misi dan tujuan BMT, maka BMT melakukan usaha-usaha yaitu mengembangkan kegiatan simpan pinjam dengan prinsip bagi hasil/syariah dan mengembangkan lembaga dan bisnis Kelompok Usaha Muamalah yaitu kelompok simpan pinjam yang khas binaan BMT.
Jika BMT telah berkembang cukup mapan, memprakarsai pengembangan badan usaha sektor riil ( BUSRIL ) dari Pokusma –pokusma sebagai badan usaha pendamping menggerakkan ekonomi riil rakyat kecil di wilayah kerja BMT tersebut yang manajemennya terpisah sama sekali dari BMT.
Mengembangkan jaringan kerja dan jaringan bisnis BMT dan sektor riil (BUSRIL) mitranya sehingga menjadi barisan semut yang tangguh sehingga mampu mendongkrak kekuatan ekonomi bangsa Indonesia.
5. Produk dan Mekanisme Operasional BMT
Secara umum produk BMT dalam rangka melaksanakan fungsinya tersebut dapat diklasifikasikan menjadi empat hal yaitu(Prof.H.A Djazuli dan Drs. Yadi Janwari, M.Ag. lembaga-lembaga Perekonomian Umat. Rajawali Press.):
a. Produk penghimpunan dana (funding)
b. Produk penyaluran dana (lending)
c. Produk jasa
d. Produk tabarru’: ZISWAH (Zakat, Infaq, Shadaqah, Wakaf, dan Hibah)
- Operasional BMT
o Mandiri dan mengakar di masyarakat,
o Bentuk organisasinya sederhana,
o Sistem dan prosedur pembiayaan mudah,
o Memiliki jangkauan pelayanan kepada pengusaha mikro. Kelemahannya adalah :
o Skala usaha kecil,
o Permodalan terbatas,
o Sumber daya manusia lemah,
o Sistem dan prosedur belum baku.Untuk mengembangkan lembaga tersebut dari kelemahannya perlu ditempuh cara-cara pembinaan sebagai berikut:
o Pemberian bantuan manajemen, peningkatan kualitas SDM dalam bentuk pelatihan, standarisasi sistem dan prosedur,
o Kerjasama dalam penyaluran dana,
o Bantuan dalam inkubasi bisnis.
2. Pola Tabungan dan Pembiayaan
- Tabungan
Tabungan atau simpanan dapat diartikan sebagai titipan murni dari orang atau badan usaha kepada pihak BMT. Jenis-jenis tabungan/simpanan adalah sebagai berikut:
- Tabungan persiapan qurban;
- Tabungan pendidikan;
- Tabungan persiapan untuk nikah;
- Tabungan persiapan untuk melahirkan;
- Tabungan naik haji/umroh;
- Simpanan berjangka/deposito;
- Simpanan khusus untuk kelahiran;
- Simpanan sukarela;
- Simpanan hari tua;
- Simpanan aqiqoh.
- Pola Pembiayaan
Pola pembiayaan terdiri dari bagi hasil dan jual beli dengan mark up (tambahan atas modal) serta pembiayaan non profit.
3. Bagi Hasil
Bagi hasil dilakukan antara BMT dengan pengelola dana dan antara BMT dengan penyedia dana (penyimpan/penabung). Bagi hasil ini dibedakan atas:
Musyarakah, adalah suatu perkongsian antara dua pihak atau lebih dalam suatu proyek dimana masing-masing pihak berhak atas segala keuntungan dan bertanggung jawab atas segala kerugian yang terjadi sesuai dengan penyertaannya masing-masing.
Mudharabah, adalah perkongsian antara dua pihak dimana pihak pertama (shahib al amal) menyediakan dana dan pihak kedua (mudharib) bertanggung jawab atas pengelolaan usaha. Keuntungan dibagikan sesuai dengan rasio laba yang telah disepakati bersama terlebih dahulu di depan. Manakala rugi, shahib al amal akan kehilangan sebagian imbalan dari kerja keras dan manajerial skill selama proyek berlangsung.
Murabahah, adalah pola jual beli dengan membayar tangguh, sekali bayar.
Muzaraah, adalah dengan memberikan l kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (prosentase) dari hasil panen.
Musaaqot, adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzaraah dimana si penggarapnya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si penggarap berhak atas rasio tertentu dari hasil panen.
4. Jual Beli dengan Mark Up (tambahan atas modal)
Jual beli dengan mark up merupakan tata cara jual beli yang dalam pelaksanaannya, BMT mengangkat nasabah sebagai agen (yang diberi kuasa) melakukan pembelian barang atas nama BMT, kemudian BMT bertindak sebagai penjual kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli tambah keuntungan bagi BMT atau sering disebut margin/mark up. Keuntungan yang diperoleh BMT akan dibagi kepada penyedia dan penyimpan dana. Jenis-jenisnya adalah:
Bai Bitsaman Ajil (BBA), adalah proses jual beli dimana pembayaran dilakukan secara lebih dahulu dan penyerahan barang dilakukan kemudian.
Bai As Salam, proses jual beli dimana pembayaran dilakukan terlebih dahulu dan penyerahan barang dilakukan kemudian.
Al Istishna, adalah kontrak order yang ditandatangani bersamaan antara pemesan dengan produsen untuk pembuatan jenis barang tertentu.
Ijarah atau Sewa, adalah dengan memberi penyewa untuk mengambil pemanfaatan dari sarana barang sewaan untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan yang besarnya telah disepakati bersama.
Bai Ut Takjiri, adakah suatu kontrak sewa yang diakhiri dengan penjualan. Dalam kontrak ini pembayaran sewa telah diperhitungkan sedemikian rupa sehingga padanya merupakan pembelian terhadap barang secara berangsur.
Musyarakah Mutanaqisah, adalah kombinasi antara musyawarah dengan ijarah (perkongsian dengan sewa). Dalam kontrak ini kedua belah pihak yang berkongsi menyertakan modalnya masing-masing.
5. Pembiayaan Non Profit
Sistem ini disebut juga pembiayaan kebajikan. Sistem ini lebih bersifat sosial dan tidak profit oriented. Dalam BMT pembiayaan ini sering dikenal dengan Qard yang bertujuan untuk kegiatan produktif yang secara aplikatif peminjam dana hanya perlu mengembalikan modal yang dipinjam dari BMT apabila sudah jatuh tempo, yang tentu dengan beberapa criteria UMK yang harus dipenuhi.
6. Peraturan Hukum Terkait dengan BMT
BMT dapat didirikan dalam bentuk KSM (kelompok Swadaya Masyarakat) atau Koperasi (Karnaen A. Perwaatmadja. Membumikan ekonomi Islam di Indonesia, (Depok: Usaha Kami,1996), hlm.216). Sebelum menjalankan usahanya, KSM mesti mendapatkan sertifikat operasi dari PINBUK (Pusat Inkubasi bisnis Usaha Kecil). Sementara PINBUK itu sendiri mesti mendapat pengakuan dari Bank Indonesia (BI) sebagai Lembaga Pengembang Swadaya Masyarakat (LPSM) yang mendukung Program Proyek Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat yang dikelola oleh Bank Indonesia (PHBK-BI). Selain dengan badan hukum kelompok Swadaya Masyarakat, BMT juga bisa didirikan dengan menggunakan badan hukum koperasi, baik Koperasi Serba Usaha diperkotaan, Koperasi Unit Desa di pedesaan, maupun Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) di lingkunan pesantren.
Berkenaan dengan Koperasi Unit Desa dapat mendirikan BMT telah diatur dalam Petunjuk Menteri Koperasi dan PPK tanggal 20 Maret 1995 yang menetapkan bahwa bila disuatu wilayah dimana telah ada KUD dan KUD tersebut telah berjalan baik dan organisasinya telah diatur dengan baik, maka BMT bisa menjadi Unit Usaha Otonom (U2O) atau Tempat Pelayanaan Koperasi (TPK) dari KUD tersebut. Sedangkan bila KUD yang telah berdiri itu belum berjalan dengan baik, maka KUD tersebut dapat di operasikan sebagai BMT.
DI wilayah-wilayah berbasis pesantren, masyarakat dapat mendirikan BMT dengan menggunakan badan hukum Koperasi Pondok Pesantren. Dalam hal penggunaan Kopontren sebagai badan hukum BMT, keberadaan BMT di Kopontren tersebut adalah senbagai Unit Usaha Otonom atau tempat Pelayanaan Koperasi sebagaimana dalam KUD. Apabila di pesantren itu belum terbentuk Kopontren, maka civitas peasantren dapat mendirikan Kopontren dan BMT secara bersama-sama. Untuk itu, panitia penyiapan pendirian BMT dapaat bekerja sama dengan Puskopontren, Kantor Departeman Agama, Kantaor Departemen Koperasi dan PPK di kabipaten setempat.
Penggunaan badan hukum KSM dan Koperasi untuk BMT itu disebabkan karena BMT tidak termasuk kepada lembaga keuangan formal yang dijelaskan UU nomor 7 tahun 1992 dan UU nomor 10 Tahun 1998 tyentang Perbankan, yang dapat diopersikan untuk menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Menurut UU pihak yang berhak menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, baik dioperasikan dengan cara konvensional maupun syariah atau bagi hasil. Namun demikian, kalau BMT dengan badan hukum KSM atau Koperasi itu telah berkembang dan telah memenuhi syarat-syarat BPR, maka pihak menajemen dapat mengusulkan diri kepada Pemerintah agar BMT itu dijadikan sebagia BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah) dengan badan huukum koperasi atau perseroan terbatas.
Selain itu BMT dalam menjalankan dan menggunakan produk-produknya mengacu kepada Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang dijelaskan dalam uraian berikut:
Implementasi akad bagi hasil dalam produk BMT di bidang penghimpunan dana sebagaimana disebut di atas dalam bentuk simpanan, sedangkan implementasinya dalam produk penyaluran dana adalah pada produk Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah. Secara teknis mengenai penerapan akad mudharabah dalam bentuk pembiayaan dapat dibaca dalam Fatwa DSN MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) dan untuk penerapan akad musyarakah dalam produk pembiayaan dapat dibaca dalam Fatwa DSN MUI No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah.
Sedangkan implementasi akad murabahah, salam, dan istishna, khususnya dalam praktik BMT secara teknis dapat dibaca dalam Fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, Fatwa DSN MUI No. 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam, dan Fatwa DSN MUI No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna. Sewa-menyewa merupakan perjanjian yang obyeknya adalah manfaat atas suatu barang atau pelayanan, sehingga bagi pihak yang menerima manfaat berkewajiban untuk membayar uang sewa/upah (ujrah). Selain itu BMT juga menerapkan sistem sewa menyewa. Dalam praktik BMT akad sewa-menyewa ini diterapkan dalam produk penyaluran dana berupa pembiayaan ijarah dan pembiayaan ijarah muntahia bit tamlik (IMBT), yang penjelasannya adalah sebagai berikut:
1) Ijarah adalah transaksi sewa-menyewa atas suatu barang dan atau upah mengupah atas suatu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa. Secara teknis mengenai penerapan akad ijarah di BMT dapat mengacu pada Fatwa DSN MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.
2) Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT), adalah transaksi sewa-menyewa yang memberikan hak opsi di akhir masa sewa bagi pihak penyewa untuk memiliki barang yang menjadi obyek sewa melaluai mekanisme hibah ataupun melalui mekanisme beli. Secara teknis mengenai implementasi IMBT ini dapat dibaca dalam ketentuan Fatwa DSN MUI No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah Al-Mutahiyah bi Al-Tamlik.
Dalam operasional BMT transaksi pinjam-meminjam yang bersifat sosial diman kegiatan pinjam-meminjam ini dikenal dengan nama pembiayaan qardh, yaitu pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. Ada juga qardh al-hasan (pinjaman kebajikan), yang pada dasarnya dalam hal nasabah tidak mampu mengembalikan, maka seyogyanya pihak pemberi pinjaman bisa mengikhlaskannya. Secara teknis mengenai pembiayaan qardh ini mengacu pada Fatwa DSN MUI No. 19/DSN-MUI/IX/2000 tentang al Qardh.
7. Perkembangan dan pertumbuhan BMT di Indonesia
Perkembangan BMT di Indonesia dewasa ini ukup mencengangkan, tumbuh ratusan BMT, bahkan mungki ribuan. Menurut catatan BMT Center Indonesia (semacam induknya BMT se-Indonesia) anggotanya ada sekitar 138 unit dengan 348 kantor cabang (niriah.com). Itu baru yang menginduk atau menjadi anggota BMT Center, padahal yang tidak menjadi anggota, sangat jauh lebih banyak. Artinya, masyarakat sangat membutuhkan sebuah lembaga keuangan seperti ini, lembaga keuangan yang sederhana dalam pengaksesan pembiayaan (kredit) dengan tidak meninggalkan aspek prudential, dengan bagi hasil (margin) yang jauh lebih rendah dari rentenir. Masyarakat usaha kecil selama ini merasa kesulitan untuk mengakses kredit ke perbankan, karena usahanya belum tertata.
8. Dampak Perkembangan dan Pertumbuhan BMT bagi perekonomian Indonesia
Pembiayaan kepada pengusaha mikro selama ini selalu terkendala permasalahan outstanding pembiayaan yang kecil yang karena itu biaya operasional pembiayaan menjadi tinggi membuat pihak perbankan enggan memberikan pembiayaan. Kendala lainnya persyaratan perbankan, bankable atau yang secara teknis mengharuskan adanya jaminan liquid dll yang tidak dimiliki oleh sector UMK. Adanya keinginan yang kuat untuk mengatasi kendala-kendala diatas itulah yang menginspirasi kehadiran BMT.
Bila dibandingkan dengan kekuatan lembaga keuangan mikro lain dalam hal besaran pembiayaan atau kredit, kekuatan BMT memang belum seberapa, dari total pembiayaan yang disalurkan kepda UMK.
Namun jika ditinjau dari segi jumlah penerima manfaat, maka kita dapat melihat jumlah yang dilayani oleh BMT jauh lebih banyak, dan yang lebih menarik lagi jumlah pembiayaan tiap unit usahapun lebih kecil, sehingga dapatlah disimpulkan bahwa pembiayaan pada BMT lebih mampu untuk menyentuh pengusaha mikro sebagai unit usaha terkecil, akan tetapi memiliki jumlah unit usaha paling besar di Indonesia.
9. Prospek Strategi dan Kendala Baitul Maal wat Tamwil (BMT)
Koperasi syariah atau akrab dikenal dengan sebutan Baitulmal wattamwil (BMT) mengalami perkembangan cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan, sebuah lembaga inkubasi bisnis BMT mengestimasi saat ini terdapat sebanyak 3.200 BMT dengan nilai aset mencapai Rp 3,2 triliun. Bisnis tersebut hingga akhir tahun ini diproyeksi mencapai Rp 3,8 triliun. Meski demikian, Chief Secretary Organization (CSO) BMT Center, Noor Azis, yakin bahwa BMT di Indonesia masih bisa terus dikembangkan. Syaratnya, adanya dukungan dan komitmen pemerintah dalam mendorong perkembangan bisnis lembaga keuangan non bunga tersebut. Salah satu bentuk dukungan itu adalah melahirkan berbagai regulasi yang melindungi binsis keuangan mikro.
Searah dengan perubahan zaman, perubahan tata ekonomi dan perdagangan, konsep baitul mal yang sederhana itu pun berubah, tidak sebatas menerima dan menyalurkan harta tetapi juga mengelolanya secara lebih produktif untuk memberdayakan perekonomian masyarakat. Penerimaannya juga tidak terbatas pada zakat, infak dan shodaqoh, juga tidak mungkin lagi dari berbagai bentuk harta yang diperoleh dari peperangan. Lagi pula peran pemberdayaan perekonomian tidak hanya dikerjakan oleh negara.
Selain itu, dengan kehadiran BMT di harapkan mampu menjadi sarana dalam menyalurkan dana untuk usaha bisnis kecil dengan mudah dan bersih, karena didasarkan pada kemudahan dan bebas riba/bunga, memperbaiki/meningkatkan taraf hidup masyarakat bawah, Lembaga keuangan alternatif yang mudah diakses oleh masyarakat bawah dan bebas riba/bunga,Lembaga untuk memberdayakan ekonomi ummat,mengentaskan kemiskinan,meningkatkan produktivitas.
Jika kita membicarakan bagaimana kita membuat strategi untuk menumbuh kembangkan BMT di Indonesia dengan melihat prospek BMT yang telah kita bahas pada pembahasan diatas, ternyata ada beberapa strategi untuk meningkatkan kinerja untuk meningkatkan prospek dari BMT tersebut antara lain:
o Optimalisasi lembaga pemerintahan yang mengadakan pendanaan BMT secara melalui lembaga swasta seperti lembaga PT. Permodalan Nasional Madani terhadap BMT, akan tetapi itu dirasa kurang cukup kontributif untuk pengembangan BMT, karena belum ada penanganan khusus dari lembaga pemerintahan.
o Optimalisasi linkage program untuk penambahan permodalan BMT, baik itu antara BMT dan BPRS serta Bank Syariah, sehingga kemungkinan likuidasi BMT terjadi akan semakin mengecil.
o Sedangkan proses pengembangan BMT dapat dilakukan dengan proses berikut:
o Mengidentifikasi ulang kuantitas dan kualitas BMT dan UMK di Indonesia.
o Koordinasi dengan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) dalam pengadaan pelatihan bagi para pengelola BMT agar manajemennya bisa berkembangan.
o Sosialisasi akan eksistensi BMT kepada masyarakat melalui media massa, sehingga masyarakat akan lebih cepat mengetahui adanya BMT dan keunggulannya
10. Kendala-kendala yang dihadapi oleh BMT
Dalam perkembangan BMT tentunya tidak lepas dari berbagai kendala. Adapun kendala-kendala tersebut diantaranya:
1. Akumulasi kebutuhan dana masyarakat belum bisa dipenuhi BMT.
2. Adanya rentenir yang memberikan dana yang memadai dan pelayanan yang baik dibanding BMT.
3. Nasabah bermasalah.
4. Persaingan tidak Islami antar BMT.
5. pengarahan pengelola pada orientasi bisnis terlalu dominant sehingga mengikis sedikit rasa idealis.
6. Ketimpangan fungsi utama BMT, antara baitul mal dengan baitutamwil.
7. SDM kurang.
8.Evaluasi Bersama BMT.
Daftar Pustaka
Karnaen A. Perwaatmadja. Membumikan ekonomi Islam di Indonesia, (Depok: Usaha Kami,1996), hlm.216
Prof. Dr. Ir. M. Amin Azis. Tata Cara Pendirian BMT. Jakarta: PKES Publishing, 2008
Ir. H. Saat Suharto. Peranan Permodalan BMT dalam Pemberdayaan Sektor UMK.
A. Djazuli dan Yadi Janwari, lembaga-lembaga Perekonomian Umat: Sebuah Pengenalan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002, hal: 191-192A. Djazuli dan Yadi Janwari, lembaga-lembaga Perekonomian Umat: Sebuah Pengenalan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002, hal: 191-192
Tidak ada komentar:
Posting Komentar