Indonesia sebagai bangsa majemuk

BAB I

PENDAHULUAN

Sulit dipungkiri, Indonesia ditinjau dari aspek manapun merupakan sebuah bangsa yang majemuk. Ini terlebih jika dikontrakan dengan bangsa-bangsa lain seperti Jepang, Korea, Thailand, ataupun Anglo Saxon (Inggris). Kemajemukan ini tampak dalam manifestasi kebudayaan bangsa Indonesia yang tidak “satu”. Budaya Indonesia dapat dengan mudah dipecah kedalam budaya Jawa, Sunda, Batak, Minangkabau, atau pun Toraja, sebagai misal.
Kemajemukan juga termanifestasi dalam masalah agama, lokasi domestik, tingkat ekonomi ataupun perbedaan-perbedaan sikap dalam politik. Sikap politik, secara khusus, paling mudah menampakkan diri ke dalam bentuk partai-partai politik yang bervariasi dan hidup berkembang di bumi Indonesia.
Ciri dari masyarakat majemuk adalah secara atruktural memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat diverse. Ia kurang mengalami perkembangan dalam hal sistem nilai atau konsesur yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat. Kurang pola ditandari oleh berkembanganya sistem nilai dari kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya dengan penganutan peranggotanya masing-masing secara tegar dalam tebentuknya yang relative murni serta sering timbulnya konflik-konflik sosial. Masyarakat majemuk biasanya tersegmentasi kedalam kelompok yang punyai sub kebudayaan yang berbeda.
Sebab itu, merupakan suatu kajian menarik guna melihat seperti apa manifestasi kemajemukan struktur masyarakat Indonesia ini. Kemudian penelaahan akan dilakukan seputar kelebihan serta keemahan dari struktur majemuk masyarakat Indonesia ini.

BAB II

PEMBAHASAN
Keanekaragaman kultur Indonesia
Selaku pisau nalisa, perlu terlebih dahulu dibedah pengertian dari Keanekaragaman kultur “Mutukultur”. Kajian ini mengenai masyarakat majemuk signifikan terutama didalam masyarakat yang memang terdiri atas aneka pelapisan sosial dan budaya yang satu sama lain saling berbeda. Indonesia, sebab itu, mengembangkan slogan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu). Slogan ini bersifat filosofis politis. Oleh sebab itu tanpa adanya unsur pemersatu, akan mudah kiranya memecah belah kohesi politik masyarakat yang mendalami sekujur kepulauan nusantara ini.
Mengenai keanekaragaman kultur ini, Bhikhu Parekh membedakannya menjadi 3 yaitu : (1) Keanekaragaman Subkultural, (2) Keanekaragaman Perspektif, dan (3) Keanekaragaman Komunal. Ketiga pengertian mengnai keanekaragaman ini memiliki dampak berbedanya titik analisis atas kajian keanekaragaman atau multikultur yang dilakukan.

1.    Keanekaragaman Subkultural
Menurut Parekh, Keanekaragaman subkultural adalah sutu kondisi dimana para anggota masyarakat memiliki satu kebudayaan umum yang luas dianut, beberapa diantara mereka menyakinkan keyakinan dan praktek yang berbeda berkenaan dengan wilayah kehidupan tertentu atau menempuh cara hidup mereka sendiri yang relative sangat berbeda.
Kini, kelompok-kelompok miskin urban, “pun” kaum waria, gay, lesbian, dan kelompok-kelompok yang oleh masyarakat umum disebut “menyimpang” merupakan wujud dari keanekaragaman subkultural ini. Termasuk ke dalam contoh ini adalah Komunitas Lia Eden, kelompok-kelompok ‘sempalann” agama mainstream.

2.    Keanekaragaman Perspektif
Manurut Parekh, Keanekaragaman perspektif adalah suatu kondisi dimana beberapa anggota masyatakat sangat krisis terhadap beberapa prinsip atau nilai-nilai sentral kebudayaan yang berlaku dan berusaha untuk menyatakannya kembali disempanjang garis kelompok yang sesuai. Gerakan-gerakan Feminis dan emansipasi perempuan merupakan perwakilan dari keanekaragaman perspektif. Kemudian isu-isu pembentukan masyarakat madani di Indonesia, termasuk ke dalamnya isu-isu pembentukan Negara Islam atau Negara Pancasila, mewakili Keanekaragaman Perspektif ini.

3.    Keanekaragaman Manual
Terakhir, Keanekaragaman Kamunal adalah suatu kondisi sebagian besar masyarakat yang mencakup beberapa komunitas yang sadar diri dan terorganisasi dengan baik. Mereka menjalankan dan hidup dengan sistem kayakinan dan praktek yang berlainan antara kelompok satu dengan kelompok lainnya.
Misal dari Keanekaragaman Komunal ini adalah para imigran yang baru tiba, komunitas-komunitas Yahudi di Eropa dan Amerika, kaum Gypsi, masyarakat Amish, kelompok-kelompok cultural yang berkumpul secara territorial seperti kaum Basque di Spanyol. Di Indonesia asuk ke dalam kelompok ini misalnya kawasan-kawasan Perinan (hunian komunitas Cina), wilayah-wilayah yang dihuni suku-suku bangsa di luar wilayahnya (komunitas Batak di Jakarta dan Bandung, misalnya).
Bahasa atas tiga pengertian keanekaragaman ini membawa kita pada pertanyaan, kearah mana keanekaragaman Indonesia hendak dialamatkan? Asumsi penelitian akan keanekaragaman Indonesia biasanya langsung ditunjukan pada hal-hal seperti keragaman agama, bahasa, suku bangsa, dan wilayah domisili berdasar kepulauan tempat tinggal. Namun, ketika diperhadapkan pada pembagian pengertian keanekaraman menurut Parekh ini, perlu dilakukan suatu pemilahan yang tepat atas kajian kemajemukan Indonesia selanjutnya.
Kemajemukan di Indonesia
Berdasar argumentasi Parekh, multikulturalisme di Indonesia sesungguhnya lebih kompleks ketimbang Cuma membedakan aspek kesukubangsaan saja. Masalah kesukubangsaan ini lambat-laun mengalami perubahan makna. Sebagai missal, Yusuf Kalla (saat tulisan dibuat adalah wapres RI) yang orang Makassar menikah dengan Mufidah Kalla yang berasal dari Sumatera Barat. Kemungkinan, Yusuf Kalla relative mudah mengidentifikasi diri selaku “orang Makassar” yang mempraktekkan budaya “Makassar.” Demikian pula istrinya, mengidentifikasi diri dan mempraktekkan budaya Sumatera Barat. Namun, bagaimana halnya dengan keturunan mereka? Apakah mereka mengidentifikasi diri selaku “orang Makassar”, “orang Sumatera Barat”, ataukah “orang baru” yang mengidentifikasi diri selaku orang setengah Makassar dan setengah Sumatera Barat.
Terkadang, guna memutus kebingungan identifikasi, seseorang yang merupakan keturunan perkawinan “campur” aneka suku bangsa mengidentifikasi diri selaku “orang Indonesia”. Ditinjau dari sisi ini, konsep integrasi nasional memiliki kekuatannya sendiri sebagai basis identitas mereka yang sulit mengidentifikasi diri dengan suku bangsa tertentu. Terlebih, jika keturunan dari dari perkawinan antar suku bangsa tersebut memperoleh keturunan dari suku bangsa lain yang berbeda dengan asal kedua orang tuanya. Masalah identifikasi akan semakin kompleks, dan ke-Indonesia-an semakin memperoleh signifikansi selaku basis identitas mereka.
Kembali kepada pengertian multikultur menurut Parekh. Subkultur, Perspektif, dan Komunal ketiganya sekaligus merupakan varian keanekaragaman yang dapat saja diterapkan terhadap kajian sistem sosial dan budaya Indonesia. Masuknya aneka budaya baru, perkembangan teknologi, industrialisasi, dan percampuran penduduk membuat kategorisasi keragaman hanya sekadar suku bangsa sebagai analisis sistem sosial dan budaya Indonesia terlihat berkurang signifikansinya.
Aneka subkultur kini pun tengah berkembang di Indonesia. Budaya-budaya Punk, kaum urban miskin kota, penduduk wilayah perbatasan, kelompok-kelompok buruh, kemudian membangun sistem nilai dan cara hidup tersendiri yang kemungkinan berbeda dengan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Kendati berbeda, dalam satu dan lain aspek, mereka masih dapat bersepakatan dengan aturan dan sistem hukum yang berkembang di Indonesia. Ini dengan tidak melupakan fakta, keragaman yang bersifat subkultur ini tetap merupakan “minoritas” dan sulit berkembang menjadi “mayoritas”.
Selain itu, kelompok-kelompok baru yang dapat dianggap selaku representasi dari keanekaragaman perspektif adalah kelompok-kelompok perempuan, kelompok-kelompok keagamaan tertentu, kelompok-kelompok pakar ilmiah, yang kendati tetap hidup dalam budaya mainstream tetapi memiliki sejumlah kritik atas praktek kebudayaan yang berlangsung. Bersama kelompok-kelompok ini hidup, tetapi mereka terus mengupayakan perubahan atas beberapa aspek kebudayaan tertentu yang dipraktekkan.
Keanekaragaman Komunal paling mudah dikenali karena sejumlah manifestasi fisik yang mudah dicerap panca indera semisal bahasa, tata cara berpakaian, warna kulit, dan tata cara hidup. Orang Batak mudah dibedakan dengan Orang Sunda. Orang Papua mudah dibedakan dengan Orang Minangkabau, dan seterusnya. Suku-suku bangsa ini dapat saja hidup kendati berada di luar wilayah domisilinya. Misalnya, orang Batak hidup di perantauan di daerah Cimahi, Bandung. Orang-orang Batak ini kemungkinan menerbitkan suatu “perspektif” yang aneh bagi orang Sunda akibat beberapa perbedaan tata budayanya. Namun, kerap kali orang-orang Batak akan mengadopsi beberapa komponen budaya Sunda (bahasa, makanan, cara bergaul) demi mengintegrasikan diri mereka.
Parsudi Suparlan secara tegas menyebut masyarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk. Hal yang mencolok dari kemajemukan masyarakat Indonesia adalah penekanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam bentuk komunitas-komunitas suku bangsa, dan digunakannya kesukubangsaan sebagai acuan utama bagi jati diri bangsa.2 Suparlan menandaskan bahwa masyarakat majemuk ini memiliki kesulitan tersendiri dalam melakukan integrasi nasional.
Sebagai contoh dapat diambil Afrika Selatan tatkala di bawah rezim Apartheid. Kulit putih Eropa (Belanda, Belgia) yang menguasai Afrika Selatan muncul selaku pemerintah dan melakukan tindak diskriminasi sosial terhadap kaum kulit hitam. Pembedaan tidak hanya terjadi di sector politik, tetapi juga meliputi sector sosial dan ekonomi yang dibatasi garis-garis rasial, keyakinan agama, dan jenjang sosial feodalisme.3 Begitu pula, terdapat kesulitan bagi Suriname yang majemuk dalam menerapkan demokrasi akibat konflik kepentingan antara 2 suku bangsa mayoritas di Negara tersebut. Akibatnya, Suriname kerap mengalami Military-Dictatorship demi pengembangan stabilitas nasionalnya.
Namun, ini bukan berarti multikulturalisme menjadi preseden terbentuknya consensus nasional berbangsa. Amerika Serikat, sebagai contoh, pada awal berdirinya adalah cukup “rasis” dengan konsep WASP-nya (White Anglo Saxon Protestant). Pemerintah Amerika Serikat hanya berhak dianggotai oleh orang-orang kulit putih asal Inggris yang beragama Protestan. Kini konsep tersebut lambat-laut mencair dan bahkan, orang keturunan kulit hitam seperti Barack Husein Obama mampu muncul sebagai orang nomor 1 di Negara tersebut.
J.S. Furnivall termasuk orang yang pertama kali menyebut Indonesia selaku bangsa majemuk. Masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat di mana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedfemikian rupa, sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.4
Ciri dari masyarakat majemuk adalah secara structural memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat diverse. Ia kurang mengalami perkembangan dalam hal sistem nilai atau consensus yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat. Kurang pula ditandai oleh berkembangnya sistem nilai dari kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya dengan penganutan para anggotanya masing-masing secara tegar dalam bentuknya yang relative murni serta oleh sering timbulnya konflik-konflik sosial, atau setidak-tidaknya oleh kurangnya integrasi dan sailng ketergantungan di antara kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya.

BAB III

KESIMPULAN
Dalam masyarakat majemuk dengan demikian ada perbedaan-perbedaan sosial, budaya, dan politik yang dikukuhkan sebagai hukum ataupun sebagai konvensi sosial yang membedakan mereka yang tergolong sebagai dominant yang menjadi lawan dari yang minoritas. Dalam masyarakat Hindi Belanda, pemerintahan nasional atau penjajahan mempunyai kekuatan militer dan polisi yang dibarengi dengan kekuatan hukum untuk memaksakan kepentingan-kepentingannya, yaitu mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia. Dalam struktur hubungan kekuatan yang berlaku secara nasional, dalam penjajahan hindia belanda terdapat golongan yang paling dominant yang berada pada lapisan teratas, yaitu orang Belanda dan orang kulit putih disusul oleh orag Cina, Arab, dan Timur asing lainnyam dan kemulian yang terbawah adalah mereka yang tergolong pribumi. Mereka yang tergolong pribumi digolongkan lagi menjadi yang tergolong telah mengenal peradaban dan mereka mengenal peradaban atau yang masih primitif. Dalam struktur yang berlaku nasional ini terdapat struktur-struktur hubungan kekuatan dominant-minoritas yang bervariasi sesuai konteks-konteks hubungan dan kepentingan yang berlaku.

SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA

PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual di sana menarik bagi para pedagang dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India. Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal dari Maluku, di pasarkan di Jawa dan Sumatera, untuk kemudian di jual pada pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera dan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 M sering disinggahi pedagang asing, seperti Lamuri (Aceh), Barus dan Palembang di Sumatera, (Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa). Pedagang-pedagang muslim asal Arab, Persia dan India juga ada yang sampai kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke-7 M (abd I H), ketika Islam pertama kali berkembang di Timur Tengah. Malaka, jauh sebelum di taklukkan Portugis (1511), merupakan pusat utama lalu-lintas perdagangan dan pelayaran. Melalui Malaka, hasil hutan dan rempah-rempah dari seluruh pelosok Nusantara dibawa ke Cina dan India, terutama Gujarat, perjalanan laut melintasi Laut Arab. Dari sana perjalanan bercabang dua. Jalan pertama di sebelah utara menuju Teluk Oman, melalui selat Ormuz, ke teluk Persia. Jalan kedua melalui Teluk Aden dan laut Merah, dan dari kota Suez jalan perdagangan harus melalui daratan ke Kairo dan Iskandariah. Melalui jalan pelayaran Tersebut, kapal-kapal Arab, Persia, dan India mondar-mandir dari Barat ke Timur dan terus ke negeri Cina dengan menggunakan angin musim untuk pelayaran pulang perginya.
Dari berita Cina dapat diketahui bahwa di masa dinasti Tang (abad ke-9-10) orang-orang Ta-Shih sudah ada di kkanton (Kan-fu) dan Sumatera. Ta-Shih adalah sebutan untuk orang-orang Arab dan Persia, yang ketika itu jelas sudah menjadi Muslim. Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat internasional antara negeri-negeri di Asia bagian Barat dan Timur mungkin disebabkan oleh kegiatan kerajaan Islam di bawah Bani Umayyah di bagian barat dan kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara. Akan tetapi, menurut Taufik Abdullah, belum ada bukti bahwa pribumi Indonesia di tempat-tempat yang disinggahi oleh para pedagang Muslim itu beragama Islam. Adanya koloni itu, diduga sejauh yang paling bisa dipertanggungjawabkan, ialah para pedagang Arab tersebut, hanya berdiam untuk menunggu musim yang baik bagi pelayaran.
Baru pada zaman-zaman berikutnya, penduduk kepulauan ini masuk Islam, bermula dari penduduk pribumi di koloni-koloni pedagang Muslim itu. Menjelang abad ke-13 M, masyarakat muslim sudah ada di Samudera Pasai, Perlak, dan Palembang di Sumatera. Di Jawa, makam Fatimah binti maimun di Leran (Gresik) yang berangka tahun 475 H (1082 M), dan Makam-makam Islam di Tralaya yang berasal dari abad ke-13 M merupakan bukti berkembangnya komunitas Islam, termasuk di pusat kekuasaan Hindu-Jawa ketika itu, Majapahit. Namun, sumber sejarah yang sahih yang memberikan kesaksian sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan tentang berkembangnya masyarakat Islam di indonesia, baik berupa prasasti dan historiografi tradisional maupun berita asing, baru terdapat ketika ‘’komunitas islam” berubah menjadi pusat kekuasaan.
B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Bagaimana kedatangan islam di Indonesia?
2.      Bagaimana Kondisi dan Situasi politik Kerajaan- Kerajaan di Indonesia ?
3.      Bagaimana Munculnya pemukiman- pemukiman muslim di kota- kota pesisir ?
4.      Bagaimana Saluran dan cara- caraislamisasi di Indonesia?
C.     Tujuan Penulisan
1.      Ingin mengetahui bagaimana kedatangan islam di Indonesia
2.      Ingin mengetahui bagaimana Kondisi dan Situasi politik Kerajaan- Kerajaan di Indonesia
3.      Ingin mengetahui bagaimana Munculnya pemukiman- pemukiman muslim di kota- kota pesisir
4.      Ingin mengetahui bagaimana Saluran dan cara- cara islamisasi di Indonesia

PEMBAHASAN
A.     Kondisi dan Situasi Politik Kerajaan -Kerajaan di Indonesia
Pada abad ke-7 sampai ke-10 M, kerajaan Sriwijaya meluaskan kekuasaannya ke daerah Semenanjung Malaka sampai Kedah. Keterlibatan orang-orang Islam dalam bidang politik baru terlihat pada abad ke-9 M, ketika mereka terlibat dalam pemberontakan petani-petani Cina terhadap kekuasaan T’ang pada masa pemerintahan Kaisar Hi-Tsung (878-889 M). Akibat pemberontakan itu, kaum muslimin banyak yang dibunuh. Sebagian lainnya lari ke Kedah, wilayah yang masuk kekuasaan Sriwijaya pada waktu itu memang melindungi orang-orang muslim di wilayah kekuasaannya. Kemajuan politik dan ekonomi Sriwijaya berlangsung sampai abad ke-12 m. Pada akhir abad ke-12 M, kerajaan ini mulai memasuki masa kemundurannya. Kemunduran politik dan ekonomi Sriwijaya dipercepat oleh usaha-usaha kerajaan Singasari yang sedang bangkit di Jawa. Kerajaan Jawa ini melakukan ekspedisi Pamaluyu tahun 1275 M dan berhasil mengalahkan kerajaan Melayu di Sumatera. Keadaan itu mendorong daerah-daerah di Selat Malaka yang dikuasai kerajaan Sriwijya melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan tersebut.
Kelemahan Sriwijaya dimanfaatkan pula oleh pedagang-pedagang muslim untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan politik dan perdagangan. Mereka mendukung daerah-daerah yang muncul dan daerah yang menyatakan diri sebagai kerajaan bercorak Islam, yaitu kerajaan Samudera Pasai di pesisir Timur Laut Aceh. Daerah ini sudah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad ke-7 dan ke-8 M. Proses Islamisasi tentu berjalan di sana sejak abad tersebut. Kerjaan Samudera pasai dengan segera berkembang baik dalam bidang politik maupun perdagangan.
Karena kekacauan-kekacauan dalam negeri sendiri akibat perebutan kekuasaan di istana, kerajaan Singasari, juga pelanjutnya, Majapahit, tidak mampu mengontrol daerah Melayu dan Selat malaka dapat berkembang dan mencapai puncak kekuasaannya hingga abad ke-16 M.
B.     Munculnya pemukiman-pemukiman di Kota Pesisir
Menjelang abad ke-13 M, di pesisir Aceh sudah ada pemukiman Muslim. Persentuhan antara penduduk pribumi dengan pedagang Muslim dari Abad, Persia, dan India memang pertama kali terjadi di daerah ini. Karena itu, diperkirakan, proses islamisasi sudah berlangsung sejak persentuhan itu terjadi. Dengan demikian dapat dipahami mengapa kerajaan Islam pertama di kepulauan Nusantara ini berdiri di Aceh, yaitu kerajaan Samudera Pasai yang didirikan pada pertengahan abad ke-13 M. Setelah kerajaan Islam ini berdiri, perkembangan masyarakat Muslim di Malaka makin lama makin meluas dan pada awal abad ke -15 M, di daerah ini lahir kerajaan Islam, yang merupakan kerajaan Islam Kedua di Asia Tenggara. Kerajaan ini cepat berkembang, bahkan dapat mengambil alih dominasi pelayaran dan perdagangan dari kerajaan Samudera Pasai yang kalah bersaing. Lajunya perkembangan masyarakat Muslim ini berkaitan erat dengan keruntuhan Sriwijaya. Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511), mata rantai penting pelayaran beralih ke Aceh, kerajaan Islam yang melanjutkan kejayaan Samudera Pasai. Dari sini, proses Islamisasi di kepulauan Nusantara berlangsung lebih cepat dari sebelumnya. Untuk menghindari gangguan Portugis yang menguasai Malaka, untuk sementara waktu kapal-kapal memilih menelusuri  pantai Barat Sumatera. Aceh kemudian berusaha melebarkan kekuasaannya ke selatan sampai ke Pariaman dan Tiku. Dari pantai Sumatera, kapal-kapal memasuki Selat Sunda menuju pelabuhan-pelabuhan di pantai Utara Jawa. Berdasarkan berita Tome Pires (1512-1515), dalam Suma Oriental-nya, dapat diketahui bahwa daerah-daerah dibagian pesisir Sumatera Utara dan Timur Selat Malaka, yaitu dari Aceh sampai Palembang sudah banyak terdapat masyarakat dan kerajaan-kerajaan Islam. Akan tetapi, menurut berita itu, daerah-daerah yang belum Islam juga masih banyak, yaitu Palembang dan daerah-daerah pedalaman. Proses Islamisasi ke daerah-daerah pedalaman Aceh, Sumatera Barat, terutama terjadi sejak Aceh malakukan ekspansi politiknya pada abad ke-16 dan 17 M.
Sementara itu, di Jawa, proses islamisasi sudah berlangsung , sejak abad ke-11M, meskipun belum meluas; terbukti dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik yang berangka tahun 475 H (1082 M). Berita tentang Islam di Jawa pada abad ke-11 dan 12 M memang masih sangat langka. Akan tetapi, sejak akhir abad ke-13 M dab abad-abad berikutnya, terutama ketika Majapahit mencapai puncak kebesarannya, bukti-bukti adanya proses islamisasi sudah banyak, dengan ditemukannya beberapa puluh nisan kubur di Troloyo, Triwulan dan Gresik. Bahkan, menurut berita ma-huan tahun 1416 M, di pusat Majapahit maupun di Pesisir, terutama di kota-kota  pelabuhan, telah terjadi proses islamisasi dan sudah pula terbentuk masyarakat Muslim.
Perkembangan Islam di Jawa bersamaan waktunya dengan lemahnya posisi raja Majapahit. Hal itu memberi peluang kepada raja-raja Islam pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan yang independen. Di bawah bimbingan spiritual Sunan Kudus, meskipun bukan yang tertua dari Wali Songo, Demak akhirnya berhasil menggantikan Majapahit sebagai kraton pusat.
Pengaruh Islam masuk ke Indonesia bagian Timur, khususnya daerah Maluku, tidak dapat dipisahkan dari jalur perdagangan yang terbentang pada pusat lalulintas pelayaran internasional di Malaka, Jawa, dan Maluku. Menurut tradisi setempat, sejak abad ke-14 M, islam datang je daerah Maluku. Raja Ternate yang kedua belas, Molomatea (1350-1357 m) bersahabat karib dengan orang Arab yang memberinya petunjuk dalam pembuatan kapal-kapal, tetapi agaknya bukan dalam kepercayaan. Hal ini menunjukkan bahwa di Ternate sudah ada masyarakat Islam sebelum rajanya masuk Islam. Demikian juga di Banda, Hitu, makyan, dan Bacana. Orang-orang Islam datang ke Maluku tidak menghadapi kerajaan –kerajaan yang sedang mengalami perpecahan sebagaimana halnya di Jawa. Mereka datang dan Mnyebarkan agama Islam melalui perdagangan, dakwah, dan Perkawinan.
Kalimantan Timur pertamakali di Islamkan oleh Datuk Ri Bandang dan tunggang Parangan. Kedua mubalig itu datang ke Kutai setelah orang-orang Makassar masuk Islam. Proses Islamisasi di Kutai dan daerah sekitarnya diperkirakan terjadi sekitar tahun 1575.
Sulawesi, terutama bagian selatan, sejak abad ke-16 M, di Sulawesi banyak sekali kerajaan yang masih beragama berhala. Akan tetapi, pada abad ke-16 di daerah Gowa, sebuah kerajaan terkenal di daerah itu, telah terdapat masyarakat Muslim. Di Gowa dan tallo raja-rajanya masuk Islam secara resmi pada tanggal 22 September 1605 M.
Proses Islamisasi pada taraf pertama di kerajaan Gowa dilakukan dengan cara damai oleh Dato’ Ri Bandang dan Dato’ Sulaeman keduanya memberikan ajaran-ajaran Islam kepada Masyarakat dan raja. Setelah secara resmi memeluk agama Islam. Gowa melancarkan perang terhadap Soppeng, Wajo, dan terakhir Bone. Kerajaan-kerajaan tersebut pun masuk Islam, Wajo, 10 mei 1610 M dan Bone, 23 November 1611 M.
Proses Islamisasi memang tidak berhenti sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, tetapi terus berlangsung intensitif dengan berbagai cara dan Saluran.
C.     Saluran dan Cara-Cara Islamisasi di Indonesia
.Menurut Uka Tjandra Sasmita, prorses masukya Islam ke Asia Tenggara yang berkembang ada enam, yaitu:
a.      Saluran Perdagangan
Pada taraf permulaan, saluran islamisasi adalah perdagangan. Kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 M. membuat pedagang-pedagang Muslim (Arab, Persia dan India) turut ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian barat, tenggara dan Timur Benua Asia.
Saluran Islamisasi melalui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham.
Mengutip pendapat Tome Pires berkenaan dengan saluran Islamisasi melalui perdagangan ini di pesisir Pulau Jawa, Uka  Tjandrasasmita menyebutkan bahwa para pedagang Muslim banyak yang bermukim di pesisir pulau Jawa yang penduduknya ketika itu masih kafir.
Mereka berhasil mendirikan masjid-masjid dan mendatangkan mullah-mullah dari luar sehingga jumlah mereka menjadi banyak, dan karenanya anak-anak Muslim itu menjadi orang Jawa dan kaya-kaya. Di beberapa tempat, penguasa-penguasa Jawa, yang menjabat sebagai bupati-bupati Majapahit yang ditempatkan di pesisir utara Jawa banyak yang masuk Islam, bukan hanya karena faktor politik dalam negeri yang sedang goyah, tetapi terutama karena faktor hubungan ekonomi dengan pedagang-pedagang Muslim.
b.      Saluran Perkawinan
Dari sudut ekonomi, para pedagang Muslim memiliki status sosial yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi, terutama putri-putri bangsawan, tertarik untuk menjadi istri saudagar-saudagar itu. Sebelum kawin, mereka diislamkan terlebih dahulu. Setelah mereka mempunyai keturunan, lingkungan mereka makin luas. Akhirnya, timbul kampung-kampung, daerah-daerah dan Kerajaan - Kerajaan Muslim. Dalam perkembangan berikutnya, ada pula wanita Muslim yang dikawani oleh keturunan bangsawan, tentu saja setelah yang terakhir ini masuk Islam terlebih dahulu.
Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan apabila terjadi antara saudagar Muslim dengan anak bangsawan atau anak raja dan anak adipati, karena raja, adipati atau bangsawan itu kemudian turut mempercepat proses Islamisasi. Demikianlah yang terjadi antara Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan Nyai Kawunganten, Brawijaya dengan putri Campa yang menurunkan Raden Patah (raja pertama Demak) dan lain-lain.
c.       Saluran Tasawuf
Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi, mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Di antara mereka ada juga yang mengawini putri-putri bangsawan setempat. Dengan tasawuf, “bentuk” Islam yang diajarkan keadaan penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima.
Di antara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung perasaman dengan alam pikiran Indonesia para -Islam itu adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syeikh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini masih berkembang di abad ke-19 bahkan di abad ke-20 M ini.
d.      Saluran Pendidikan
Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, dan ulama-ulama. Di pesantren atau pondok itu, calon ulama, guru agama, dan kiai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampung masing-masing kemudian berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan Islam. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan agama Islam.
e.      Saluran Kesenian
Saluran Islamisasi melalui Kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Dikatakan, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan Islam. Kesenian - Kesenian lain juga dijadikan alat Islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad dan sebagainya), seni bangunan dan seni ukir.
f.        Saluran Politik
Di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya masuk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat berpengaruh tersebarnya Islam di daerah ini. Di samping itu, baik di Sumatra dan Jawa maupun di Indonesia bagian Timur, demi kepentingan politik, Kerajaan -Kerajaan Islam memerangi Kerajaan - Kerajaan non - Islam. Kemenangan Kerajaan Islam secara politik banyak menarik penduduk Kerajaan bukan Islam itu masuk Islam.

PENUTUP
A.     Kesimpulan
Setelah dibahas dalam bab sebelumnya maka kami selaku penulis akhirnya dapat menarik kesimpulan bahwa perkembanganagama Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase. Yaitu:
 (1) Singgahnya pedagang-pedagang Islam di Pelabuhan-pelabuhan Nusantaera. Sumbernya adalah berita luar negeri, terutama Cina,
(2) Adanya komunitas-komunitras Islam di beberapa daerah kepulauan Indonesia. Sumbernya, disamping berita-beita asing, juga makam-makam islam, dan
(3) Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam.
Sedangkan masuknya islam di Indonesia menurut uka tjandrasasmita dilakukan dengan enam saluran yaitu: Saluran perdagangan, Saluran perkawinan, Saluran tasawuf, Saluran pendidikan, Saluran kesenian, dan Saluran politik. Dari keenam saluran di ataslah islam bisa menjangkau hampir ke seluruh pelosok Indonesia yang salah satu pengaruhnya diakui sebagai kebudayaan Indonesia sendiri sampai sekarang seperti Pengaruh bahasa dan nama, Pengaruh adat-istiadat, Pengaruh kesenian.

DAFTAR PUSTAKA
Dr. Badri Yatih,M.A. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2008
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984).
Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah Umat Islam Indonesia, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991).
Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984)
Abdullah, Taufik dan Sharon Siddique (Ed.) Tradisi dan kebangkitan Islam di Asia tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1989, Cetakan Pertama)

Hukum Acara Pidana Militer

1. Asas-asas dan ciri-ciri tata kehidupan militer sebagai berikut:
a. Asas kesatuan komando, Dalam kehidupan militer dengan struktur organisasinya, seorang komandan mempunyai kedudukan sentral dan bertanggung jawab penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya. Oleh karena itu seorang komandan diberi wewenang penyerahan perkara dalam penyelesaian perkara pidana dan berkewajiban untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang diajukan oleh anak buahnya melalui upaya administrasi.Sesuai dengan asas kesatuan komando tersebut di atas, dalam Hukum Acara Pidana Militer tidak dikenal adanya pra peradilan dan pra penuntutan.Konsekuensinya adalah dalam Hukum Acara Pidana Militer dan Hukum Acara Tata Usaha Militer dikenal adanya lembaga ganti rugi dan rehabilitasi.
b. Asas komandan bertanggung jawab terhadap anak buahnya, Dalam tata kehidupan dan ciri-ciri organisasi Angkatan Bersenjata, komandan berfungsi sebagai pimpinan, guru, bapak, dan pelatih, sehingga seorang komandan harus bertanggung jawab penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya. Asas ini adalah merupakan kelanjutan dari asas kesatuan komando. 
c. Asas kepentingan militer, Untuk menyelenggarakan pertahanan dan keamanan negara, kepentingan militer diutamakan melebihi daripada kepentingan golongan dan perorangan. Namun, khusus dalam proses peradilan kepentingan militer selalu diseimbangkan dengan kepentingan hukum.
2. Kekuasaan kehakiman di lingkugan peradilan militer dilaksanakan oleh peradilan yang terdiri dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, Pengadilan Miiter Pertempuran.
a. Ruang lingkup bagi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
1) Ruang lingkup bagi Pengadilan Militer, merupakan pengadilan tingkat pertama bagi terdakwa dengan pangkat kapten ke bawah. Hakim ketua dalam persidangan paling rendah pangkat Mayor sedangkan hakim anggota dan oditur paling rendah Kapten, panitera paling rendah Pelda paling tinggi Kapten.
2) Pengadilan Militer Tinggi, merupakan pengadilan tingkat banding bagi terdakwa dengan pangkat Kapten ke bawah. Hakim ketua dalam persidangan paling rendah pangkat Kolonel sedangkan hakim anggota dan oditur paling rendah pangkat Letnan Kolonel, panitera paling rendah pangkat Kapten paling tinggi Mayor. Pengadilan Militer Tinggi juga merupakan pengadilan tingkat pertama bagi terdakwa pangkat Mayor ke atas dan selain itu berfungsi sebagai Pengadilan tingkat pertama untuk perkara/masalah Tata Usaha Militer. 
3) Pengadilan Militer Utama merupakan pengadilan tingakat banding bagi terdakwa pangkat Mayor ke atas. Hakim ketua dalam persidangan paling rendah Brigjen (bintang satu) sedangkan hakim anggota dan oditur paling rendah pangkat Kolonel, panitera paling rendah Mayor paling tinggi Letkol. Selain itu Pengadilan  Militer  Utama  bersidang  untuk  memeriksa  dan memutuskan  perkara  sengketa  Tata  Usaha  Angkatan  Bersenjata pada tingkat banding. Dan bagi 
4) Pengadilan Militer Pertempuran, merupakan pengadilan tingakat pertama dan terakhir. Dalam pengadilan militer pertempuran ini hanya ada kasasi dan peninjauan kembali dan kasasi di limpahkan ke MA. Hakim ketua dalam persidangan paling rendah pangat Letkol sedangkan hakim anggota dan oditur paling rendah Mayor.
b. Bagan tentang kekuasaan pengadilan militer untuk kapten ke bawah

Hukum Acara Pidana Militer dan Umum


c. Bagan tentang kekuasaan Pengadilan Militer untuk Mayor ke atas
Hukum Acara Pidana Militer


d. Pemeriksaan yang digunakan adalah acara pemeriksaan koneksitas yakni tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh peradilan umum kecuali jika menurut Menhamkam dengan persetujuan Menkeh diperiksa dan diadili dalam peradilam militer. Jika titik berat kerugian pada kepentingan umum maka diadili dalam peradilan umum, jika titik berat kerugian pada kepentingan militer maka diadili dalam peradilan militer.

3. Perkara yang diperiksa secara in absentia :
Syarat yang harus dipenuhi, Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Indonesia, hal ini tidak diatur secara jelas, kecuali di dalam pasal 196 dan 214 KUHAP :
1) Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan.
2) Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan segera disampaikan kepada terpidana.
3) Bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan oleh penyidik kepada terpidana, diserahkan kepada panitera untuk dicatat dalam buku register.
4) Dalam hal putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa dan putusan itu berupa pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan perlawanan
5) Dalam waktu tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa, ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu.
yang mengandung pengaturan terbatas mengenai peradilan in absentia. Peradilan ini harus memenuhi beberapa unsur, antara lain: karena terdakwa tinggal atau pergi ke luar negeri; adanya usaha pembangkangan dari terdakwa (misalnya melarikan diri); atau terdakwa tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang jelas walaupun telah dipanggil secara sah (pasal 38 UU RI No 31 Tahun 1999). Pasal 38 UU No 31 Tahun 1999 berbunyi:
1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.
3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.
Pengadilan in absentia adalah upaya mengadili seseorang dan menghukumnya tanpa kehadiran terdakwa. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Indonesia, hal ini tidak diatur secara jelas, kecuali di dalam Pasal 196 KUHAP :
1) Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain.
2) Dalam hal terdapat Iebih dari seorang terdakwa dalam satu perkara, putusan dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada.
b. Pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan (Pasal 154 dan 155 KUHP) yang intinya terdakwa harus hadir dalam persidangan jika tidak hadir tanpa alasan terdakwa harus didatangkan dengan paksa karena tujuan hukum acara pidana adalah untuk mendapatkan kebenaran yang sebesar-besarnya. Ada perkara yang tersangkanya tidak hadir dalam artian tidak face to face dengan hakim contohnya pelanggaran lalu lintas. Semua perkara idealnya seperti yang ada di atas. terdakwanya  melarikan diri dan tidak di ketemukan selama 6 bulan berturut-turut, dan sudah di upayakan pemanggilan tiga kali berturut-turut secara sah, tetapi tidak hadir di sidang tanpa suatu alasan, dapat dilakukan pemeriksaan dan diputus tanpa hadirnya terdakwa. Dan jika terdakwanya tidak sulit untuk di periksa maka tidak di perlukan pemeriksaan secara in absensia, dan melaksanakan pemeriksaan secara langsung dan lisan.
4. Putusan pengadilan militer II-10 Semarang dengan nomor putusan PUT/54-K/PM.II-10/AD/VIII/2009:
a. Tindak pidana yang dapat diperiksa dan diadili secara in absentia adalah Peradilan in absentia dalam hukum pidana ekonomi (arti sempit) diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, tindak pidana desersi, tindak pidana korupsi.
b. Perkara desersi yang Tersangkanya tidak diketemukan sesudah  meneliti  berkas  perkara  Oditur  membuat  dan menyampaikan pendapat hukum kepada Perwira Penyerah Perkara yang dapat berupa permintaan agar perkara diserahkan kepada   Pengadilan  atau  diselesaikan  menurut  Hukum  Disiplin Prajurit,  atau  ditutup  demi  kepentingan  hukum,  kepentingan umum, atau kepentingan militer.
c. Menurut sepengetahua saya pemeriksaan  tanpa  hadirnya terdakwa  dalam  pengertian  in  absensi  adalah  pemeriksaan yang dilaksanakan supaya perkara tersebut dapat diselesaikan dengan  cepat  demi  tetap  tegaknya  disiplin  Prajurit  dalam rangka  menjaga  keutuhan  pasukan,  termasuk  dalam  hal  ini pelimpahan  perkara  yang  Terdakwanya  tidak  pernah  diperiksa karena sejak awal melarikan diri dan tidak diketemukan lagi dalam  jangka  waktu  6  (enam)  bulan  berturut-turut,  untuk keabsahannya  harus  dikuatkan  dengan  surat  keterangan  dari Komandan  atau  Kepala  Kesatuannya.  Penghitungan  tenggang waktu 6 (enam) bulan berturut-turut terhitung mulai tanggal pelimpahan berkas perkaranya ke Pengadilan.
d. Yang berwenang adalah perwira penyerah perkara. Kewenangan  penutupan  perkara  demi  kepentingan  umum/militer hanya ada pada Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) huruf a.  Hal ini diatur dalam pasal 125 ayat (1) huruf h.
e. Alat buktinya adalah surat yakni berupa daftar absensi atas nama Prada Ali Mutando.
f. Menjalani masa pidana penjara di lembaga permasyarakatan umum karena di pecat dari dinas keprajuritan.

pembagian hadits secara umum

PEMBAGIAN HADITS DITINJAU DARI JUMLAH PERAWINYA

PENDAHULUAN

 

Kita  semua  pasti sudah tahu  dan  faham  tentang  hadits,  bahkan kita  sepakat bahwa hadits adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur an. Akan tetapi berbeda  dengan  Al-Qur an  yang  dijamin  kemurniannya  oleh  Allah  SWT  (bersifat qaht i), kemurnian hadits bersifat lebih kepada dzanni.

Upaya untuk menjaga kemurnian dan eksistensi hadits, yaitu dengan cara para sahabat,  tabi in,  tabi it-tabi in  sampai  generasi  seterusnya  menghimpun  atau mengkodifikasikan  hadits.  Sejak  masa  pertama  hijrah,  sebenarnya  hadits  sudah dikodifikasi  oleh  personal-personal  Ahli  hadits,  tapi  pada  masa  ini  masih  terjadi perdebatan, bahkan Rasulullah dan Para Khulafaurrasidin melarangnya untuk menulis dan membukukan hadits, karena  dikhawatirkan akan tercampurnya antara  ayat-ayat Al-Qur  an  dan  Hadits  dan  akan  terlalaikannya  Al-Qur an  karena  pada  masa  ini sebagian besar para sahabat masih mengandalkan hafalannya.

Namun  sejalan  dengan  waktu  maka  haditspun  mulai  menyebar  ke  pelosok- pelosok  negeri  yang  mana  dalam  penyampaian  hadits  mengalami  perbedaan  yang mengakibatkan hadits menjadi bermacam-macam dan beraneka ragam (variatif).

Berdasarkan  realita  tersebut,  para  ulama  sepakat  untuk  mengumpulkan  dan membukukan  hadits  demi  menjaga  kemurnian  dan  keutuhan  hadits.  Pembukuan hadits  terlaksana  pada  masa  khalifah  Umar  ibn  Abdul  Aziz  yang  terkenal  Wara i.

Dimasa inilah merupakan awal pengkodifikasian hadits. Dalam proses pengumpulan dan pengkodifikasian hadits,  tentunya bukan hal yang mudah, banyak sekali kriteria dan klasifikasi yang diterapkan agar suatu khabar dapat  dikatakan  sebuah  hadits.  Dari  mulai  kualitas,  kuantitas  perawinya,  dan  lain sebagainya.

Dalam  makalah  ini,  akan  dibahas  secara  garis  besar  tentang  Pembagian Hadits Ditinjau Dari Jumlah Perawinya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, partisipasi saran dan kritik yang bersifat korektif dan  konstruktif  dari  par a  pembaca  yang  budiman  sangatlah  kami  harapkan  dalam rangka perbaikan makalah ini.

PEMBAHASAN

PEMBAGIAN HADITS DITINJAU DARI JUMLAH PERAWINYA

Ulama   berbeda  pendapat  tentang  pembagian  hadits  ditinjau  dari  jumlah perawinya.  Maksud  tinjuan dari  segi  jumlah  perawinya  disini  adalah  dengan menelusuri jumlah para perawi yang menjadi sumber adanya suatu hadits.

Para ahli  ada  yang  mengelompokkan  menjadi  tiga  bagian,  yakni  hadits mutawatir,  hadits  Masyhur,  dan  hadits  Ahad.  Ada  juga  yang  membaginya  hanya menjadi dua, yakni hadits Mutawatir dan Hadits Ahad.[1] Akan tetapi kebanyakan dari para ahli membedakan dan membaginya hanya menjadi dua  yakni hadits Mutawatir dan  hadits  Ahad.   Mereka beralasan bahwa  hadits masyhur merupakan  bagian dari hadits Ahad dan tidak berdiri sendiri.  Alasan ini diikuti oleh golongan ulama Ushul dan ulama Kalam. Dan sebagian lagi  beralasan bahwa hadits Masyhur adalah hadits yang berdiri sendiri  dan bukan termasuk bagian dari hadits Ahad.  Alasan ini diikuti oleh sebagian ulama Ushul, diantaranya adalah Abu Bakar Al-Jassas. Namun dalam makalah  ini  akan  dijelaskan  pembagian hadits  menjadi  dua  : Hadits Mutawatir  dan Hadits Ahad.

A.  HADITS MUTAWATIR

Sebelum  kita  bahas  hadits  Mutawatir  lebih  dalam,  sebaiknya  terlebih dahulu kita mengetahui apa itu hadits Mutawatir ?

Mutawatir menurut bahasa merupakan bentuk isim fa il, pecahan kata dari tawatara, yang  berarti tataba a  (berturut-turut),  atau muttabi  yakni  yang datang berikutnya  atau  beriring-iringan  yang  antara  satu  dengan  yang  lain  tidak  ada jaraknya.[2]  Sedangkan  pengertian  hadits  mutawatir  menurut  istilah,  terdapat beberapa definisi, antara lain sebagai berikut :

 

“Khabar yang didasarkan  panca indera  yang dikhabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat  mereka bersepakat  untuk mengkhabarkan berita itu dengan dusta.”[3]

Pendapat yang lain mengatakan :

“Hadits  yang  diriwayatkan  oleh  sejumlah  besar  orang  yang  menurut  adat mustahil  mereka  bersepakat  terlebih  dahulu  untuk  berdusta.  Sejak  awal  Sanad sampai akhir Sanad, pada setiap tingkat (Thobaqat ).”[4]

Secara  definisi  hadits  mutawatir  ialah  :  “Suatu  hadits  hasil  tanggapan dari  Panca  Indra,  yang  diriwayatkan  oleh  sejumlah  besar  rawi,  yang  menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta.”[5]

Secara  garis besar  jika  jumlah  para  sahabat  yang menjadi  rawi  pertama suatu  hadits  itu  banyak  sekali,  kemudian  rawi  dalam  generasi  tabi in  yang menerima  hadits  dari  rawi-rawi  generasi  pertama  (sahabat)  juga  banyak jumlahnya  dan  tabi in-tabi in  yang  menerimanya  dari  tabi in  pun  seimbang jumlahnya,  bahkan mungkin  lebih  banyak,  demikian  seterusnya  dalam  keadaan yang  sama  sampai  kepada  rawi-rawi   yang  mendewankan  hadits,  maka  hadits tersebut dinamakan Hadits Mutawatir.

Hukum Hadits Mutawatir :

Hadits  mutawatir  menunjukan  pada  pengetahuan  yang  sifatnya  pasti    (al-imu  ad-dlaruri),  yaitu  suatu  keharusan  untuk  menerimanya  secara  bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath I (pasti),  dengan  seyakin-yakinnya  bahwa  Nabi  Muhammad  SAW  benar –benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi

mutawatir.[6] Dengan  kata lain, wajib bagi setiap muslim untuk membenarkannya secara pasti, sama seperti ia menyaksikan sesuatu dengan mata kepalanya sendiri, sehingga bagaimana mungkin ia meragukan sesuatu yang telah dibenarkanya.

Syarat-syarat Hadits Mutawatir :

1.  Dasar  atau  sesuatu  yang  disampaikan  oleh  rawi-rawi  tersebut  harus berdasarkan panca indera. Artinya bahwa sesuatu yang mereka sampaikan itu harus  benar-benar  hasil  pendengaran  atau  penglihatannya  sendiri,  sehingga tidak boleh meriwayatkan sesuatu yang diluar inderawinya.

2.  Jumlah  rawi-rawinya  harus  mencapai  suatu  ketentuan  yang  tidak memungkinkan  mereka  bersepakat  bohong.  Para  ulama  berbeda  pendapat tentang batasan yang diperlukan untuk tidak bersepakat bohong.

·         Abu Thayyib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang

·         Ashhabu„sy-Syafi  i menentukan minimal 5 orang

·         Ulama yang lain menetapkan batas minimal 20 atau 40 orang.[7]

3.  Adanya  keseimbangan  jumlah  antara  rawi-rawi  dalam  Thabaqoh  (lapisan) pertama  dengan  Thabaqah  berikutnya.  Dengan  demikian,  bila  suatu  hadits diriwayatkan oleh dua puluh orang sahabat, kemudian diterima sepuluh tabi in dan selanjutnya  hanya  diterima  lima tabi in, maka  hadits  tersebut tidak  bisa digolongkan sebagai hadits mutawatir.

Pembagian Hadits Mutawatir :

a.  Mutawatir Lafdzi

“Hadits yang sama bunyi lafadz, hukum dan maknanya.”

Yang dimaksud hadits mutawatir lafdzi adalah : Hadits yang mutawatir lafadz dan maknanya. Dengan kata lain Hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang  susunan  redaksi  dan  maknanya sesuai/benar  antara  riwayat  yang  satu dengan yang lain. Contoh Hadits :

“Barang  siapa  yang  berdusta  atasku  dengan  sengaja,  maka  ia  telah menyiapkan tempatnya dari api neraka.” (HR. Bukhari Muslim)

Hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari 70 orang sahabat.[8]

b.  Mutawatir  Maknawi

“Hadits  yang  berlainan  bunyi  lafadz  dan  maknanya,  tetapi  dapat  diambil makna yang umum.”

Yang  dimaksud  dengan  hadits  mutawatir  maknawi  adalah hadits  mutawatir yang  rawi-rawinya  berlainan  dalam  menyusun  redaksi pemberitaan  tetapi berita yang berlainan-lainan susunan redaksinya itu terdapat persesuaian pada prinsipnya.[9]  Atau  dengan  kata  lain  hadits  yang  mutawatir  namun  dari  segi maknanya saja, dari segi lafadznya berbeda/berlainan.

Al-Suyuthi  mendefinisikan  sebagai  berikut  :  “Hadits  yang  dinukilkan  oleh sejumlah  orang  yang  menurut  adat  mustahil  mereka   sepakat berdusta  atas kejadian  yang  berbeda-beda  (secara  lafdziyah),  tetapi  bertemu  pada  titik persamaan (maknanya)” .

Contoh: Hadits tentang mengangkat kedua tangan ketika berdo a.

“Rasulullah  SAW  mengangkat  kedua  tangannya  dalam  berdo a  hingga tampak  putih  kedua  ketiaknya  selain  dalam  do a  shalat  Istisqa”.  (HR. Bukhari & Muslim)[10]

“Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”

Hadits-hadits yang menggambarkan keadaan Rasulullah SAW seperti ini ada sekitar  100  hadits.  Masing-masing  itu  menyebutkan  Rasulullah  SAW mengangkat  kedua  tangannya  ketika  berdo a,  meskipun  masing-masing (hadits)  terkait  dalam  hal  yang  berbeda-beda.  Masing-masing  hal  tersebut tidak  mutawatir. Penetapan  bahwa  mengangkat kedua  tangan  ketika  berdo a itu  termasuk  mutawatir  karena  pertimbangan  digabungkanya  berbagai  jalurhadits tersebut

c.  Mutawatir Amali

 “Sesuatu  diketahui  dengan  mudah  bahwa  dia  termasuk  urusan  agama  dan telah  mutawatir  di  kalangan  ummat  Islam,  bahwa  Nabi  SAW mengerjakannya, atau menyuruhnya, atau selain  dari itu. Dari hal itu dapat dikatakan soal yang telah disepakati.”[11]

Contoh  :  hadits-hadits  yang  menerangkan  waktu  dan  rakaat  shalat,  shalat jenazah, shalat „Ied, hijab  perempuan yang  bukan mahram, kadar zakat,  dan segala bentuk amaliyah yang telah menjadi kesepakatan, ijma .

B.  HADITS AHAD

Al-Ahad adalah bentuk jamak dari ahad, menurut bahasa berarti al-wahid atau  satu. Menurut istilah adalah khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai batasan  jumlah  perawi hadits  mutawatir,  baik perawi  itu  satu,  dua,  tiga,  empat, lima  dan  seterusnya  yang  tidak  memberikan  pengertian  bahwa  jumlah  perawi tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir “.

Sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits :

“Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.”

Ada pula yang mengartikan hadits ahad secara singkat, yakni hadits yang tidak  memenuhi  syarat-syarat  hadits  mutawatir,  hadits  yang  selain  hadits mutawatir, atau hadits yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian dzanni  dan tidak sampai kepada qath i dan yaqin.[12]

Hukum Hadits Ahad :

Para  ulama  sependapat  bahwa  hadits  ahad  tidak  Qath i,  sebagaimana hadits mutawatir. Hadits ahad hanya memfaedahkan  dzan, oleh karena itu masih perlu  diadakan  penyelidikan  sehingga  dapat  diketahui  maqbul  dan  mardudnya.

Dan  kalau  temyata  telah  diketahui  bahwa,  hadits  tersebut  tidak  tertolak  (dalam arti maqbul), maka mereka sepakat bahwa hadits tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadits mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadits, ialah memeriksa “Apakah hadits tersebut maqbul atau  mardud”.  Kalau  maqbul,  boleh  kita  berhujjah  dengannya.  Kalau  mardud, kita tidak dapat I tiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.[13]

Pembagian Hadits Ahad :

a.  Hadits Masyhur

Mashyur menurut bahasa, ialah al-Intisyar wal-dzuqa   : “sesuatu yang sudah terbesar  dan  popular”.  Masyhur  bisa  juga  diartikan  dengan  idzhar,  yaitu tampak / terlihat.

Sedangkan menurut istilah terdapat beberapa definisi, antara lain :

“Hadits  yang  diriwayatkan  oleh  tiga  orang  perawi  atau  lebih  pada  tiap tingkatan  perawinya  (thabaqah),  namun  tidak  sampai  pada  derajat mutawatir.”

Pendapat  lain  mengatakan  hadits  yang  diriwayatkan  dari  sahabat,  tetapi bilangannya  tidak  sampai  ukuran  bilangan  mutawatir,  kemudian  baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula setelah mereka.

Contoh hadits :

“Sesungguhnya  tiap-tiap  amal  itu  bergantung  pada  niatnya,  dan  tiap-tiap seseorang akan memperoleh apa yang ia niatkan”. (HR. Bukhari & Muslim)

Hadits ini pada  thabaqah pertama hanya  diriwayatkan  oleh sahabat  Umar bn Khattab,  pada thabaqah  kedua  hanya diriwayatkan  oleh Alqamah,  dan  pada  thabaqah ketiga diriwayatkan oleh orang banyak, antara lain : Abdul Wahab, Malik, Al-Laits, Hammad, dan Sufyan.[14]

Hadits  di  atas  biasa  disebut  hadits masyhur atau  disebut  hadits  gharib pada awalnya dan masyhur pada akhirnya.

Hukum Hadits Masyhur :

Masyhur  menurut  istilah  maupun  yang  tidak  termasuk  istilah  dapat diklaim sebagai hadits yang shahih, melainkan ada yang shahih, ada juga yang hasan,  dha if,  bahkan  yang  maudhu.  Menurut  istilah  hadits  yang  shahih memiliki kriteria lebih kuat dari hadits aziz dan hadits gharib.

Macam-Macam Hadits Masyhur

1)  Masyhur dikalangan ahli Hadits.

Contohnya adalah hadits dari Anas : “Bahwa Rasulullah SAW melakukan (do a)   qunut  selama  satu  bulan,  (dilakukan)  setelah  ruku,  dengan mendoakan (khabilah) Ri lin Dzakwan”.

2)  Masyhur dikalangan ulama ahli Hadits, ulama-ulama lain, dan dikalangan

orang  umum.  Contohnya  :  “Orang  muslim  itu  adalah  orang  yang menyelamatkan  muslim lainnya dari perkataan dan tangannya”.

3)  Masyhur dikalangan ahli Fiqih.

Contohnya : “Perkara halal yang di benci Allah SWT adalah talak”.

4)  Masyhur dikalangan ahli Ushul Fiqih.

Contohnya : “Diangkat dari umatku (dosa) atas kekeliruan, lupa, dan hal yang memaksa”.

5)  Masyhur dikalangan Ulama-ulama Arab.

Contohnya  :  “Sebaik-baik  hamba  adalah  Shuhaib,  seandainya  ia  tidak takut kepada Allah, maka ia tidak akan berbuat maksiat.”

6)  Masyhur dikalangan orang awam.

Contohnya : “Tergesa-gesa itu adalah perbuatan setan.”

b.  Hadits „Aziz

Dari segi bahasa, lafadz Aziz memiliki dua pengertian, yaitu :

 Berasal  dari  laf adz  „Azza-ya  „Izzu  yang  berarti   la yakadu  yujadu  atau qalla wa nadar (sedikit atau jarang adanya); dan Berasal dari lafadz azza ya „azzu yang berarti qawiya (kuat atau keras).

Sedangkan Aziz menurut istilah, adalah :

“Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang dari dua orang.” Jumhur  ulama  mengatakan  bahwasannya  Hadits  Aziz  adalah  hadits  yang perawinya  tidak  kurang  dari  dua  orang  dalam  semua  tingkatan  (Thabaqah) Sanadnya.[15]

Contoh hadits :

“Tidak sempurna iman salah satu diantara kalian, hingga ia menjadikan aku(Rasulullah  SAW)  lebih  dicintainya  daripada  ia  mencintai  dirinya  sendiri, orangtuanya, anaknya dan seluruh manusia”. (HR. Bukhari & Muslim)

Hadits ini diriwayatkan  oleh Anas  bin Malik  (thabaqah pertama). Dari  Anas diriwayatkan  kembali  oleh  Abdul  Aziz  bin  Suhaib  dan  Qatadah  (thabaqah kedua).  Kemudian  dari  Qatadah  diriwayatkan  oleh  Syu bah  dan  Sa id (thabaqah ketiga).

c.  Hadits Gharrib

Gharrib  menurut  bahasa  berarti  al-munfarid  (menyendiri)  atau  al-ba id  anaqaribihi (jauh dari kerabatnya).

“Hadits  yang  terdapat  penyendirian  rawi  dalam  sanadnya  dimana  saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.”

Ulama  ahli  hadits  mendefinisikan  hadits  gharib  adalah  Hadits  yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya.

Pendapat  lain mendefinisikan  hadits gharib  adalah hadits  yang diriwayatkan hanya  oleh  satu  orang  perawi  saja,  baik  pada  seluruh  maupun  salah  satu tingkatan perawinya (thabaqah).

Penyendirian rawi tersebut dapat terjadi dikarenakan :

   Mengenai  personalianya,  yakni  tidak  ada  orang  lain  yang  meriwayatkan hadits tersebut selain rawi itu sendiri.

   Mengenai  sifat  atau  keadaan  rawi,  artinya  sifat  atau  keadaan  rawi  itu berbeda dengan sifat dan keadaan rawi-rawi yang lain yang meriwayatkan hadits tersebut.

Pembagian Hadits Gharib :

a.  Gharib Mutlaq

Yaitu  hadits  yang  kegharibannya  (kesendirian  perawinya)  terjadi  pada tingkatan (thabaqah) yang paling tinggi, yaitu tingkatan sahabat. Contoh :

Artinya  :  “Kekerabatan  dengan  jalan  memerdekakan,  sama  dengan kekerabatan  dengan  nasab,  tidak  boleh  dijual  dan  tidak  boleh dihibahkan”.

Hadits ini diterima dari  Nabi oleh Ibnu Umar dan dari Ibnu Umar hanya Abdullah bin Dinar saja yang  meriwayatkanya.  Sedangkan  Abdullah  bin Dinar adalah seorang tabi in hafidz, kuat ingatannya dan dapat dipercaya.

b.  Gharib Nisbi

Yaitu  hadits  yang  kegharibannya  (kesendirian  perawinya)  terjadi  pada tingkatan (thabaqah) pertengahan sanadnya (tabi in atau tabi it tabi in) .

Contoh hadits :

“Rasulullah SAW pada Hari Raya Qurban dan Idul Fitri membaca surat Qaaf dan surat Al-Qamar”.(HR. Muslim)

Contoh dari hadis ghorib nisbi berkenaan dengan kota atau tempat tinggal tertentu :

Hadis  ini  diriwayatkan  oleh  Abu  Daud  dengan  sanad  Abu  Al-Walid, Hammam,  Qatadah, Abu  Nadrah  dan  Said.  Semua rawi  ini  berasal  dari kota Basrah dan tidak ada yang meriwayatkannya dari kota-kota lain.

 

KESIMPULAN

Dengan melihat dan mencermati uraian di atas pada makalah ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1.  Hadits  mutawatir  adalah  hadits  yang  diriwayatkan  oleh  sejumlah  besar  orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta.

2.  Hukum  Hadits  Mutawatir  menunjukan  pada  pengetahuan  yang  sifatnya  pasti, (suatu keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan).

3.  Syarat-syarat Hadits Mutawatir :

   Sesuatu yang disampaikan oleh perawi harus berdasarkan Panca Indera.  Jumlah  rawi-rawinya  harus  mencapai  suatu  ketentuan  yang  tidak memungkinkan mereka bersepakat bohong. Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam tiap thabaqoh.

4.  Pembagian Hadits Mutawatir :

a.  Mutawatir Lafdzi (mutawatir lafadz dan maknanya)

b.  Mutawatir  Maknawi (mutawatir dari segi maknanya, lafadznya berbeda)

c.  Mutawatir Amaly (diketahui dengan  mudah bahwa Nabi SAW mengerjakan, menyuruhnya, atau selain dari itu).

5.  Hadits ahad  adalah  hadits  yang  tidak  memenuhi  syarat-syarat  hadits mutawatir, hadits  yang  selain  hadits  mutawatir,  atau  hadits  yang  sanadnya  sah  dan bersambung  hingga  sampai  kepada  sumbernya  (nabi)  tetapi  kandungannya memberikan pengertian dzanni dan tidak sampai kepada qath i dan yaqin.

6.  Hukum Hadits Ahad tidak Qath i, sebagaimana qath inya hadits mutawatir.

7.  Pembagian Hadits Ahad :

a.  Hadits Masyhur (Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih pada tiap tingkatan perawinya, namun tidak sampai pada derajat mutawatir)

b.  Hadits  „Aziz  (Hadits  yang  perawinya  tidak  kurang  dari  dua  orang  dalam semua tingkatan Sanadnya)

c.  Hadits Gharrib (hadits yang diriwayatkan hanya oleh satu orang perawi saja, baik pada seluruh maupun salah satu tingkatan perawinya)

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca budiman. Amin…

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Ash  Shiddieqy,  T.M.  Hasbi,,  1988,  Sejarah  dan  Pengantar  Ilmu  Hadits, Jakarta : Bulan Bintang.

Mudasir, tt., Ilmu Hadits, Jakarta : Pustaka Setia.

Rohman, Fatchur, 1981, Ikhtisar Musthalahul Hadits, Bandung : Al-MA arif.

Soetari,  Endang,  2000,  Ilmu  Hadits,  Kajian  Riwayah  &  Dirayah,  Bandung  : Amal Bakti Press.

Suparta, Munzier, 2001, Ilmu Hadits, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

 



[1] Drs. Munzier Suparta.M.A, Ilmu Hadits, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001), hal.95

[2] Mudasir, Ilmu Hadits, (Jakarta : Pustaka Setia, tt), hal.113

[3] Prof. Dr. Endang Soetari Ad.,  M.Si.  Ilmu Hadits,  Kajian  Riwayah  &  Dirayah,  Bandung :

Amal Bakti Press, 2000. Hal. 91

[4] Drs. Munzier Suparta.M.A, Ilmu Ha dits, Ibid, hal 96

[5] Drs. Fatchur Rah man, Ikh tisar Mustalahul Hadits, Bandung : Al –  Ma arif, 1981 , hal. 59

[6] T.M. Hasbi Ash Shiddieq y, Sejarah Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta : Bulan Bintang,  1988,

hal. 201

[7] Drs. Fatchur Rah man, Ikh tisar Mustalahul Hadits, Ibid, hal, 60 – 61

[8] Ibid, hal, 63

[9] Ibid, hal, 64

[10] Prof. Dr. Endang Soetari Ad., M.Si. Ilmu Hadits… , Ibid. Hal. 93

[11] Ibid, hal. 93

[12] Drs. Munzier Suparta.MA, Ilmu Hadits, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 20 01, hal 108

[13] T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Had its, Ibid, hal.215

[14] Prof. Dr. Endang Soetari Ad., M.Si. Ilmu Hadits… , Ibid. Hal. 93

[15] Ibid, hal. 116