A. IDENTITAS
1. Pengertian Identitas
Secara etimologis, identitas berasal dari kata “identity” yang memiliki arti harfiah: ciri,tanda,atau jati diri yang melekat pada seseorang,kelompok atau sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain. Dengan demikian identitas berarti ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri yang dimiliki seorang kelompok, masyarakat bahkan suatu bangsa sehingga dengan identitas itu bisa membedakan dengan yang lain.
Dalam terminologi antropologi, identitas adalah sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan kesadaran diri pribadi sendiri, golongan sendiri, kelompok sendiri, komunitas sendiri, atau negara sendiri. Mengacu pada pengertian ini identitas tidak terbatas pada individu semata, tetapi berlaku pula pada suatu kelompok.
Identitas bagi kebanyakan orang adalah selembar kartu nama yang mengukuhkan keberadaan mereka dengan sebuah nama, profesi dan kedudukan. Memperhatikan khaos yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir, saya merasa ada perlunya untuk mendalami makna identitas. Karena identitas ternyata adalah biang yang memporakporandakan berbagai negara, memecahbelahkan bangsa-bangsa, dan memposisikan manusia yang paling tidak politis sekali pun di satu sudut ruang berseberangan dengan berbagai perbedaan yang berpotensi konflik. Apa yang membedakan kita atas nama kepercayaan, suku, dan bangsa, sudah terjadi sejak kita dilahirkan. Tanpa kita sadari ketika kita dilahirkansebuah predikat langsung melekat pada keberadaan kita. Nama kita mengikat kita pada satu keluarga, satu kepercayaan, satu komunitas dan satu bangsa.
Identitas adalah sebentang Mobius yang melilit. Di satu sisi, ia mengukuhkan kebersamaan satu kelompok, keselarasan visi dan ambisi, namun atas atas nama kemajuan, prestasi dan kebersamaan, ia juga mampu secara brutal menghancurkan pihak yang dinilai mengancam azas-azas yang mengukuhkan kelompoknya. Tindakan anarkis dianggap sah karena ia membela kedaulatan kelompok. Tak ayal lagi, inilah insting survival purba yang kita wariskan dari leluhurkita sejak zaman Neolitik. Sebaliknya, kita bisa memaknakan identitas dengan parameter yang lebih luas. Identitas, menurut Amin Maalouf, sekaligus inklusif dan eksklusif. Sebagai contoh, sebagai warga Indonesia beretnis Cina, maka saya dianggap warga minoritas. Tetapi sebagai anak turunan Cina, saya termasuk golongan warga terbesar di dunia. Perbedaan perspektif ini tergantung dari sudut referensi mana kita meneropong kedudukan kita. Sebaliknya, sebagai anak turunan Cina, dilahirkan di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, menulis tiga novel dalam bahasa Inggris, membesut sebuah film tentang seorang pegawai kecil di bagian arsip dan bermukim di kawasan Lebak Bulus, saya menjadi sangat unik, karena tidak ada manusia lain selain saya yang menyandang predikat seperti ini. Tetapi kalau kita meneliti ini lebih dalam, maka kita akan menyimpulkan bahwa individualitas ini sebenarnya tidak secara keseluruhan murni, karena ia juga bermuatan berbagai elemen eksklusif yang bertautan dengan berbagai manusia, lepas dari kepercayaan, suku maupun kebangsaan. Sebagai contoh, saya berbagi satu hobi membaca dengan berjuta-juta manusia lain. Saya juga punya kesamaan seperti mereka yang suka bakmi, tahu, ataupun kue putu atau dengan mereka yang suka lagu-lagu Jeff Buckley.Perumpamaan di atas secara gamblang menunjukkan betapa fleksibel sebenarnya identitas itu. Dalam skala makro, keberadaan kita mau tidak mau bertautan dengan begitu banyak manusia dari latar yang berbeda-beda dan tidak terbatas oleh demarkasi lokasi ataupun bangsa. Ironisnya, secara individu pun kita tidak mungkin dikelompokkan dalam satu kelompok karena pada dasarnya kita semua sangat berbeda. Ini terbukti beberapa waktu yang lalu oleh penelitian proyek genome manusia, di mana ditegaskan bahwa DNA manusia adalah sebuah keajaiban dari ribuan permutasi yang sama sekali tidak mungkin direplikasi. DNA kita ibaratnya hasil dari sekali tekanan tombol mesin jackpot dengan ratusan ikon yang berbeda. Kemungkinan untuk memreplikasi susunan DNA yang sama, sama sekali tidak ada. Ilmu pengetahuan yang tadinya kita harapkan sebagai bintang penyelamat untuk membebaskan kita dari ortodoksi identitas, ternyata malah membuat kita semakin terjerumus dalam jurang pemisah. Pengetahuan, menurut Michel Foucault, hanya bisa membangkitkan lebih banyak pengetahuan. Michel Foucault memberi contoh seperti ini: seorang dokter yang kena flu tahu bagaimana mengobati dirinya dengan memilih obat yang tepat, tapi untuk kesehatan jiwanya ia tidak mampu memberikan preskripsi untuk dirinya. Karena untuk mengobati jiwanya ia membutuhkan lebih dari obat, ia perlu melakukan pelatihan-pelatihan “ tehkne tou biou” untuk mencapai satu titik konversi “metanoai”. Tehkne tou biou ini bukan sebuah antidote, seperti antidote untuk flu, tetapi sebuah perjalanan spiritualitas yang perlu ditekuni dalam hidup masing-masing. Pengetahuan dalam hal ini tidak mampu banyak membantu, karena ia justru mengakibatkan kita terperangkap dalam sejarah, tradisi dan segala embel- embel kepurbaan yang semakin mengikat kita pada satu identitas. Ia tidak mendorong kita untuk lebih mendekat pada realitas kehidupan dalam arti sebenarnya. Alain Badiou dalam bukunya Ethics mengupas apa yang disebutnya sebagai akronim usang. Seperti kata-kata Keadilan, Demokrasi, Cinta, dan dalam hal ini Identitas juga bisa kita masukkan dalam deretan akronim abstrak ini. Sebagai sebuah term kata Identitas seperti juga Keadilan tidak punya makna yang konkret. Karena ia hanya sebuah term abstrak. Badiou ingin menjelaskan kepada kita bahwa ketika sebuah kegiatan dibakukan menjadi sebuah simbol ia kehilangan makna aslinya. Ketika kita mengatakan Keadilan maka makna asli dari kata itu, yaitu berlaku adil, segera kehilangan makna aslinya. Kita tenggelam dalam sebuah semesta makna yang begitu luas sehingga keaslian makna itu sendiri menjadi kabur. Kita lupa bahwa Identitas berangkat dari kata kerja yang punya makna memperkenalkan diri, mengidentifikan diri orang lain, atau menyatukan diri dengan orang lain. Dengan kata lain, dengan merangkul kata identitas kita menjadi lupa melakukan hal-hal yang berlaku untuk makna itu. Identitas juga bercermin pada Yang Lain (The Other). Ia tidak bisa lepas dari pengakuan/pengukuhan orang lain. Identitas manusia selama hidupnya dicerminkan oleh seperangkat opini orang lain. Identitas dalam hal ini terkandung kesemuan yang menjadi kenyataan ketika kita mengkonfirmasi predikat-predikat dari orang lain. Ini paradoks yang kita bawa dari lahir yang akan terus melekat kecuali kita melakukan sesuatu untuk membebaskan diri dari tirani penafsiran Yang Lain. Dari penelitian proyek genome manusia, kita diajarkan bahwa kita tidak mungkin bisa sama seperti orang lain, sekalipun kita berusaha keras. Keunikan setiap individu sekaligus adalah kekuatan diri dan kelemahannya. Kekuatan karena dengan memahami keunikan itu kita tidak tergoyahkan oleh penafsiran Yang Lain. Kelemahannya adalah ketika kita berupaya untuk mengukuhkan identitas itu.
Seperti jalan menuju kesejahteraan jiwa harus melewati tehkne tou biou, pengasahan subjektivitas, maka untuk menjangkau orang lain kita juga perlu bekerja keras. Langkah pertama adalah membebaskan diri dari identitas. Manusia bebas identitas tidak memandang perbatasan negara, perbedaan suku atau pun kepercayaan sebagai jurang pemisah. Karena manusia pada dasarnya terikat dalam kebersamaan yang tak terelakkan, yaitu sebagai kelompok manusia berakal sehat dengan nilai-nilai kebaikan hakiki, mengemban visi yang sama, yakni dunia yang lestari dan damai. Dunia tanpa perbatasan dan identitas memungkinkan manusia untuk berpadu dalam satu komunitas dunia, bahu membahu menyelesaikan persoalan satu kasus demi satu kasus, tidak saling menyalip demi kepentingan bangsa, suku mau pun kepercayaan masing-masing. Alain Badiou menyimpulkan dengan elegan, “Satu bertaut dalam Dua. Kebersamaan berada dalam pergelutan perbedaan.†Ungkapan ini mengingatkan kita bahwa yang perlu kita lakukan bukan menyatu dengan orang banyak tetapi berusaha keras untuk mengembangkan simpati dan empati pada orang lain tanpa kekalutan historis, suku, maupun kepercayaan. Dari satu individu ke individu yang lain. Tanpa baliho yang meneriakkan slogan kebesaran ini dan itu.
Imajinasi juga sangat berperan dalam pendekatan kita pada Yang Lain. Dalam novelnya Identity, Milan Kundera memberi sebuah contoh bagaimana paras seseorang yang tak dikenal di sebuah kafe meninggalkan impresi yang begitu dalam pada tokoh utama novel sehingga ia berkembang dan menjadi seorang karakter yang terasa begitu akrab, seperti seseorang yang sudah dikenalnya selama bertahun-tahun. Melalui imajinasi, simpati dan empati kita akan terpicu, terlepas dari belenggu pradugaan dan keterbatasan identitas sehingga kita bisa bebas melebur pada yang lain.
2. Pentingnya Sebuah Identitas
Identitas adalah simbolisasi ciri khas yang mengandung diferensiasi dan mewakili citra organisasi. Identitas dapat berasal dari sejarah, visi atau cita-cita, misi atau fungsi, tujuan, strategi atau program. Berbicara mengenai identitas sebenarnya itu adalah sebuah definisi diri dan itu bisa di berikan oleh orang lain atau kita yang memberikanya. Pelacakan identitas akan menerangkan tentang siapa kita, karena pelacakan identitas adalah upaya pendefinisian diri. Baik definisi dari orang lain maupun dari kita sendiri. Ketika kita berbicara identitas maka mau tidak mau kita harus melihat ke masa lalu, di dalam konteks, identitas itu bukanlah sebuah proses produksi di ruang vakum tetapi di dalam relasi-relasi kita dengan orang lain. Kemudian kemajemukan adalah yang mencerminkan ketinggalan diri, definisi siapa kita dan yang bukan kita adalah definisi yang di lakukan sendiri dan definisi diri yang di nisbahkan oleh pihak lain yang berelasi dengan kita. Cara kita mendefinisikan diri akan sangat berpengaruh terhadap pikiran, tindakan dan keputusan yang kita ambil. Cerita menarik yang beredar di internet menceritakan tentang seekor anak elang yang dipelihara dan dibesarkan keluarga ayam. Tentu saja keluarga ayam ini mengajarkan kepada sang anak elang tentang segala sesuatu yang menyangkut ke-ayam- an, antara lain ayam memakan biji-bijian, ayam tidak bisa terbang tinggi, ayam hanya bisa begini, dan begitu saja. Pada suatu waktu, si anak elang ini melihat burung elang yang gagah melintas di angkasa. Dengan decak kagum, sang anak elang berkata, “Alangkah gagah dan anggunnya burung itu.” Lalu, keluarga ayam yang mendengar komentar sang anak elang berkata, “Itu adalah burung elang. Ia memang memiliki kemampuan untuk terbang tinggi di angkasa. Sedangkan kita adalah ayam. Ayam hanya bisa terbang rendah dan tak akan pernah terbang tinggi seperti elang. Singkat kata, sang anak elang menerima bulat-bulat apa yang diajarkan keluarga ayam. Ia akhirnya mendefinisikan dirinya sebagai anak ayam. Karena ia mendefinisikan diri sebagai anak ayam, ia pun berpikir, berlaku, dan bertindak seperti anak ayam. Sampai akhir hayat sang anak elang, beraktivitas, bertindak dan mengambil keputusan seperti seekor ayam sesuai definisi yang diyakininya. Coba bayangkan, apa yang terjadi jika sang anak elang ini mencoba mengoptimalkan kemampuannya seperti impiannya untuk terbang tinggi seperti elang yang dilihatnya. Dari ilustrasi diatas kita bisa mendapatkan beberapa pelajaran berharga mengenai pengaruh definisi identitas diri yang kita yakini. Cara kita mendefinisikan identitas kita akan menentukan masa depan kita melalui cara kita berpikir dan cara kita bertindak. Definisi identitas diri mempengaruhi cara kita berpikir. Sang elang yang mendefinisikan diri sebagai anak ayam akhirnya berpikir dan bertindak seperti anak ayam.
Dalam pemilu legislatif yang baru saja berlangsung di Indonesia, kebanyakan rakyat belum mampu menidentifasikan diri mereka sebagai pemegang kedaulatan. Pada pemilu kali ini, identitas yang terbentuk di wajah rakyat adalah sebagai penjual kedaulatan, hal tersebut terindikasikan melalui banyaknya kasus money politik. Secara bahasa sederhana money politik dipersepsikan sebagai politik uang. Di sini ada dua dimensi, yakni politik dan uang. Politik selama ini diorientasikan pada kekuasaan dan uang dipersepsikan sebagai salah satu kekuatan yang berbasis material. Artinya politik uang merupakan manifestasi dari upaya merebut kekuasaan lewat jalur politik dengan mengandalkan kekuatan uang. Kekuatan uang dalam hal ini adalah proses penentuan pemenang kekuasaan tidak berdasarkan pilihan rasional namun dengan dengan pertimbangan pragmatisme. Di sinilah kemudian stigma negatif melekat dalam persoalan money politik. Jika legislatif yang ihasilkan melalui mekanisme jual beli suara maka akan hadir para politisi yang mengidentifikasikan dirinya sebagai pedagang. Modal yang mereka keluarkan kepada rakyat harus kembali dalam jangka waktu tertentu dan harus bertambah karena begitulah identitas pedagang, kemudian lahirlah apa yang dinamakan politik dagang sapi. Entah siapa yang memulai istilah tersebut, tapi ketika kita mendengar dan mencoba memahami ternyata politik dagang sapi itu merupakan cara untuk bagi-bagi kedudukan dalam kabinet. Presiden dan Wakil Presiden yang tepilih nanti merupakan pilihan rakyat langsung, karena itu mereka memperoleh mandat yang penuh dari rakyat sebagai pemilih. Karena itu mereka mempunyai kedudukan yang lebih kuat dari pilihan anggota MPR. Akan tetapi dalam sistim yang berjalan presiden serta pemerintah yang dipimpinnya harus bekerjasama dengan DPR. Dengan demikian pemerintah yang akan disusun oleh persiden terpilih harus pandai-pandi bekerja sama dengan DPR agar program-program mereka disepakati DPR sebelum dapat dilaksanakan. Sebaik apapun program yang diusulkan, kalau DPR tidak menyetujuinya, apapaunalasannya, maka program tersebut tidak dapat dilaksanakan dan pemerintah tidak efektif menjalankan mandat yang diemban dari pemilih. Di dalam media sudah banyak diberitakan bahwa negosiasi antar berbagai partai capres dalam meminang cawapres sekaligus melakukan tawar menawar mengenai pembagian kursi dalam kabinet yang akan datang. Maka harapan akan perbaikan kesejahteraan rakyat yang berjalan beriringan dengan demokratisasi nampaknya hanya angan-angan, karena tidak ada eksekutif dan legislatif yang memikirkan hal tersebut. Jadi, selagi kedaulatan itu masih berada di tangan rakyat, mengidentifikasi diri kemudian melakukan tindakan yang tepat untuk mempergunakannya demi kesejahteraan dalam jangka waktu lima tahun kedepan harus menjadi perhatian serius agar tidak menyesal dikemudian hari.
3. Identitas, fungsi dan peranan sosial manusia ( terjadinya interaksi sosial )
• manusia sebagai makhluk individu
• Manusia sebagai makhluk sosial
• Manusia sebagai makhluk berketuhanan
Untuk mengemban ketiga fungsi, identitas dan peranan sosial tersebut manusia mempunyai dorongan atau motif untuk mengadakan hubungan dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan dengan tuhannya. Hal inilah yang mendasari terjadinya interaksi antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Pengertian interaksi sosial : Hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara seseorang dengan orang lain dalam situasi sosial tertentu. Di dalam proses interaksi sosial ini juga berlangsung proses berimbang dan berkesinambungan ( adaptif social relationship ).
4. Syarat terbentuknya interaksi sosial :
a. Komunikasi sosial
b. Kontak social
5. Dasar terjadinya interaksi sosial :
• Interaksi sosial didasari oleh adanya kebutuhan ( motivasi ) sosial dankebutuhan individual.
• Abraham Maslow ( Hierarchi Need Theory )
o Kebutuhan fisiologis ( fisiological needs )
o Kebutuhan rasa aman ( safety needs )
o Kebutuhan cinta dan kasih sayang ( love and belonging needs )
o Kebutuhan penghargaan diri ( self esteem needs )
o Kebutuhan aktualisasi diri ( need of self actualisation )
• David Mc Clelland
o Need for Power ( Motiv berkuasa )
o Need for affiliation ( motif berkumpul / berserikat )
o Need for achivement ( motif berprestasi / menjadi yang terbaik ) semua kebutuhan dan motif tersebut akan terpenuhi bila manusia mampu membangun kontak sosial dan mengembangkan komunikasi sosial sehingga terbentuk interaksi sosial dan akhirnya mewujud dalam social relationship.
6. Faktor Pengarah terbentuknya interaksi sosial
• Faktor Imitasi : ( Gabriel Trade ), seluruh kehidupan sosial itu sebenarnya berdasarkan faktor imitasi saja. Imitasi dorongan untuk meniru orang lain.
• Fakroe sugesti : sugesti berlangsung jika seseorang memberikan pandangan atau sikap dari dirinya kepada orang lain dan diterima.
• Faktor identifikasi
• Faktor Simpati
B. NASIONAL
Nasional atau Nasionalisme adalah pilar utama dalam berbangsa dan bernegara. Sebuah negara yang tidak ditopang dengan pilar nasionalisme yang kokoh, akan menjadi rapuh, kemudian runtuh, dan akhirnya tinggal sejarah. Kejayaan Bangsa Romawi, Mesir Kuno, Yunani Kuno, Mongol, Andalusia, Ottoman, Majapahit, Sriwijaya, Gowa, dan Mataram, kini hanya tinggal kenangan yang bisa kita ketahui melalui buku sejarah dan sisa-sisa peninggalannya. Tentu kita tidak berharap Republik Indonesia yang tercinta ini mengalami nasib yang sama dengan bangsa-bangsa pendahulunya itu. Nasionalisme awalnya berkembang di Eropa. Pada akhir abad 18 di Eropa mulai berlaku suatu paham bahwa setiap bangsa harus membentuk suatu Negara sendiri dan bahwa Negara itu harus meliputi seluruh bangsa masing-masing. Kebanyakan bangsa-bangsa itu memiliki faktor-faktor obyektif tertentu yang membuat mereka berbeda satu sama lain, misalnya persamaan keturunan, persamaan bahsa dan daerah budaya, kesatuan politik, adat istiadat dan tradiri atau juga karena persamaan agama. Gerakan nasionalisme dan cita- cita kebangsaan yang berkembang di eropa pada hakikatnya memiliki sifat cinta kebangsaan. Nasionalisme yang berkembang di Eropa kemudian menjalar ke seluruh dunia. Memasuki awal abad 20 nasionalisme mulai berkembang di negara- negara Asia dan Afrika termasuk Indoensia. Nasionalisme di Asia dan Afrika bukan hanya suatu perjuangan kemerdekaan untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, tetapi memiliki tujuan yang lebih mendalam,
Ciri-ciri Penting yang Berkaitan dengan Nasionalisme di Asia dan Afrika ;
a. Konsep Ia merupakan sarana untuk menumbuhkan semangat perlawanan terhadap dominasi imperialisme Barat
b. Ia menjadi peletak dasar bafi terciptanya perubahan masyarakat Asiaterutama dalam cara pandang tentang kedaerahan menjadi cara pandang seluruh bangsa.
c. ia ditumbuhkan oleh para pemimpin intelektual yang memperoleh pengaruh positif dari pendidikan Barat seperti pendidikan modern, berpikir kritis, komitmen terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Kaum intelektual menemukan dua aspek yang dapat mereka manfaatkan
• human dignity / martabat manusia
• Ideologi / faham dari Barat seperti liberalisme dan demokrasi
d. Ia terus berkembang karena para pemimpin dan pengikutnya lebih melihat masa depan dibanding masa lalu.
Yang dimaksud dominasi (asal kata dominant= lebih kuat/kuasa) politik adalah suatu penguasaan penuh dalam bidang politik, sehingga pemerintah ada
ditangan penjajah. eksploitasi ekonomi adalah pemerasan yang dilakukan melalui eksploitasi kekayaan alam, monopoli, memeras tenaga kerja penduduk, sedangkan penetrasi (asal kata to penetrate = menyusup/menerobos) kebudayaan adalah suatu pemaksaan kepada penduduk pribumi untuk mengikuti kebudayaan bangsa penjajah. Coba Anda berikan contoh dari tindakan-tindakan tersebut.
Tekanan dan pemaksaan dari pihak penjajah menimbulkan reaksi berupa penolakan dan perlawanan rakyat untuk mengusir penjajah. Jadi dengan adanya kolonialisme dan imperialisme menimbulkan reaksi bangkitnya semangat berkebangsaan. Perasaan senasib sepenanggungan dan menyatukan kehendak dan tekad untuk lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme Indonesia. Nasionalisme tersebut lahir, tumbuh dan berkembang seirama dengan perjalanan sejarah, bahwa perlawanan terhadap penjajah mengalami kegagalan. Berbagai upaya telah dilakukan, namun tidak membuat penjajah angkat kaki dari bumi Indonesia. Mengapa demikian?.Disebabkan belum adanya kesadaran pentingnya persatuan dan kesatuan guna melawan penjajah karena tingkat pendidikan bangsa Indonesia pada saat itu masih rendah. Akhirnya, secara lambat laun kesadaran itu mulai muncul dan berkembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar