Aspek-Aspek Bentuk Nasionalisme

 Aspek-Aspek Bentuk Nasionalisme

1. Bentuk Nasionalisme

a.  Nasionalisme kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil) 

adalah  sejenis  nasionalisme  dimana  negara  memperoleh  kebenaran politik  dari  penyertaan  aktif  rakyatnya,  “kehendak  rakyat”,  “perwakilan politik”.  Teori  ini  mula-mula  dibangun  oleh  Jean-jacques  rousseau  dan menjadi  bahan-bahan  tulisan.  Antara  tulisan  yang  terkenal  adalah  buku berjudul  Du  Contact  Sociale  (atau  dalam  Bahasa  Indonesia  “mengenai kontrak sosial”).

b.  Nasionalisme Etnis 

adalah  sejenis  nasionalisme  dimana  negara  memperoleh  kebenaran politik  dari  budaya  asal  atau  etnis  sebuah  masyarakat.  Dibangun  oleh Johan Gottfried  von Herder, yang memperkenalkan konsep  Volk (bahasa Jerman untuk “rakyat”). Kepada perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme  romantik  kisah  tradisi  yang  telah  direka  untuk  konsep nasionalisme  romantik.  Misalnya  “Grimm  Bersaudara”  yang  dinukilkan oleh  Herder  merupakan  koleksi kisah-kisah  yang  berkaitan  dengan etnis Jerman.

c.  Nasionalisme Budaya 

adalah  sejenis  nasionalisme  dimana  negara  memperoleh  kebenaran politik  dari  budaya  bersama  dan  bukannya  “sifat  keturunan”  seperti warna kulit, ras, dan sebagainya.

d.  Nasionalisme kenegaraan 

ialah variasi  nasionalisme  kewarganegaraan,  selalu  digabungkan  dengan nasionalisme  etnis.  Perasaan  nasionalistik  adalah  kuat  sehingga  diberi lebih keutamaan  mengatasi  hak universal  dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri  itu  selalu  kontras  dan  berkonflik  dengan  prinsip  masyarakat demokrasi.  Penyelenggaraan  sebuah  ’national  state’  adalah  suatu argumen  yang  ulung,  seolah-olah  membentuk  kerajaan  yang  lebih  baik dengan tersendiri. Contoh  biasa adalah Nazisme, serta nasionalime  Turki kontemporer,  dan  dalam  bentuk  yang  lebih  kecil,  Fransquisme  sayap kanan di  Spanyol,  serta  sikap ’  Jacobin  ’  terhadap unitaris  dan  golongan pemusat  negeri  Prancis,  seperti  juga  nasionalisme  masyarakat  Belgia, yang  secara ganas menentang demi  mewujudkan hak  kesetaraann ( equal rights  )  dan  lebih  otonomi  untuk  golongan  Fleming,  dan  nasionalis Basque atau Korsika.

e.  Nasionalisme agama 

ialah sejenis  nasionalisme  dimana  negara  memperoleh  legitimasi  politik dari persamaan agama.

2.  Unsur-unsur Nasionalisme

Menurut Dr. Frederick Hertz dalam bukunya yang berjudul Nationality in History and Politics, mengidentifikasi 4 (empat) unsur nasionalisme, yaitu

a.  hasrat untuk mencapai kesatuan, 

b.  mencapai kemerdekaan, 

c.  mencapai keaslian, 

d.  kehormatan bangsa. 

Jadi  seorang  nasionalis  sejatinya  akan  mengutamakan  kepentingan bangsa dan negaranya di atas kepentingan pribadi dan golongannya. 

3.  Aspek-aspek Nasionalisme

a.  Aspek politik

Nasionalisme bersifat  menumbangkan dominasi politik imperialisme dan bertujuan menghapus pemerintah kolonial.

b.  Aspek Sosial Ekonomi

Nasionalisme bersifat menghilangkan kesenjangan sosial yang diciptakan oleh  pemerintah  kolonial  dan  bertujuan  menghentikan  eksploitasi ekonomi.

c.  Aspek Budaya

Nasionalisme  bersifat  menghilangkan  pengaruh  kebudayaan  asing  yang buruk  dan  bertujuan  menghidupkan  kebudayaan  yang  mencerminkan harga diri bangsa setara dengan bangsa lain.

4.  Makna Nasionalisme

Istilah  nasionalisme  digunakan  dala  rentang  arti  yang  kita  gunakan sekarang.  Diantara  penggunaan  –  penggunaan  itu,  yang  paling  penting adalah :

a.  Suatu proses pembentukan, atau pertumbuhan bangsa-bangsa.

b.  Suatu sentimen atau kesadaran memiliki bangsa bersangkutan.

c.  Suatu bahasa dan simbolisme bangsa.

d.  Suatu gerakan sosial dan politik demi bangsa bersangkutan.

e.  Suatu  doktrin  dan/atau  ideologi  bangsa,  baik  yang  umum  maupun  yang khusus Nasionalisme  merupakan  sebuah  penemuan  sosial  yang  paling menakjubkan  dalam  perjalanan  sejarah  manusia,  paling  tidak  dalam  seratus tahun  terakhir.  Tak  ada  satu  pun  ruang  sosial  di  muka  bumi  yang  lepas  dari pengaruh ideologi ini. Tanpa  nasionalisme,  lajur sejarah  manusia akan berbeda sama sekali. Berakhirnya perang dingin dan semakin merebaknya  gagasan dan budaya  globalisme  (internasionalisme)  pada  dekade 1990-an  hingga  sekarang, khususnya  dengan  adanya  teknologi  komunikasi  dan  informasi  yang berkembang  dengan  sangat  akseleratif,  tidak  dengan  serta-merta  membawa lagu kematian bagi nasionalisme.

Kaca  mata etnonasionalisme  ini  berangkat  dari  asumsi  bahwa  fenomena nasionalisme telah eksis sejak manusia mengenal konsep  kekerabatan biologis. Dalam  sudut  pandang  ini,  nasionalisme  dilihat  sebagai  konsep  yang  alamiah berakar  pada  setiap  kelompok  masyarakat  masa  lampau  yang  disebut  sebagai ethnie (Anthony Smith,  1986),  suatu  kelompok  sosial yang  diikat  oleh  atribut kultural meliputi memori kolektif, nilai, mitos, dan simbolisme.

Nasionalisme  lebih  merupakan  sebuah  fenomena  budaya  daripada fenomena  politik  karena  dia  berakar  pada  etnisitas  dan  budaya  pramodern. Kalaupun  nasionalisme  bertransformasi  menjadi  sebuah  gerakan  politik,  hal tersebut  bersifat  superfisial  karena  gerakan-gerakan  politik  nasionalis  pada akhirnya  dilandasi  oleh  motivasi  budaya,  khususnya  ketika  terjadi  krisis identitas  kebudayaan.  Pada  sudut  pandang  ini,  gerakan  politik  nasionalisme adalah sarana mendapatkan kembali harga diri etnik sebagai modal dasar dalam membangun  sebuah  negara  berdasarkan  kesamaan  budaya  (John  Hutchinson, 1987).

Perspektif etnonasionalisme  yang  membuka  wacana  tentang  asal-muasal nasionalisme berdasarkan hubungan kekerabatan dan kesamaan budaya. Bahwa  nasionalisme  adalah  penemuan  bangsa  Eropa  yang  diciptakan untuk mengantisipasi  keterasingan  yang merajalela dalam  masyarakat  modern (Elie  Kedourie,  1960).    Nasionalisme  memiliki  kapasitas  memobilisasi  massa melalui  janji-janji  kemajuan  yang  merupakan  teleologi  modernitas.

Nasionalisme  dibentuk  oleh  kematerian  industrialisme  yang  membawa perubahan  sosial  dan  budaya  dalam  masyarakat.  Nasionalismelah  yang melahirkan bangsa. Nasionalisme berada  di titik persinggungan antara politik,  teknologi, dan transformasi sosial.

Pemahaman  komprehensif  tentang  nasionalisme  sebagai  produk modernitas  hanya  dapat  dilakukan  dengan  juga  melihat  apa  yang  terjadi  pada masyarakat  di  lapisan  paling  bawah  ketika  asumsi,  harapan,  kebutuhan,  dan kepentingan  masyarakat  pada  umumnya  terhadap  ideologi  nasionalisme memungkinkan  ideologi  tersebut  meresap  dan  berakar  secara  kuat  (Eric Hobsbawm, 1990).

Nasionalisme  hidup  dari  bayangan  tentang  komunitas  yang  senantiasa hadir di pikiran setiap anggota bangsa yang menjadi referensi identitas sosial. Imagined  Communities,  Anderson  berargumen  bahwa  nasionalisme masyarakat pascakolonial  di Asia dan Afrika merupakan  hasil emulasi dari apa yang telah disediakan oleh sejarah nasionalisme di Eropa.

Menurut  Plamenatz,  nasionalisme  Barat  bangkit  dari  reaksi  masyarakat yang merasakan ketidaknyamanan budaya terhadap perubahan-perubahan  yang terjadi  akibat  kapitalisme  dan  industrialisme.  Namun,  Partha  Chatterjee memecahkan  dilema  nasionalisme  antikolonialisme  ini  dengan  memisahkan dunia  materi  dan  dunia  spirit  yang  membentuk  institusi  dan  praktik  sosial masyarakat  pascakolonial.  Dunia  materi  adalah "dunia luar"  meliputi ekonomi, tata negara, serta sains dan teknologi.

5.  Pendapat Para Ahli Kontemporer

Nasionalisme  tidak  akan  pernah  selesai  diper-debatkan  karena  dialah satu-satunya ideologi  yang  sungguh-sungguh  mengikat dan mempersatukan sekelompok masyarakat dalam sebuah  perasaan yang  sama dan tekad untuk untuk  membangun  kehidupan  bersama.  Kalau  diperhatikan  perdebatan mengenai  nasionalisme  dewasa  ini  (kontemporer),  dikotomi  nasionalisme sebagai  identitas  kultural  atau  identitas  politis  akan  terus  mewarnai perdebat-an ini.

Lima  pemikir  di  bawah  ini  diambil  sebagai  contoh  untuk  menunjukkan diskusi  kontemporer  mengenai  nasionalisme.  Setelah  itu,  pemikiran- pemikiran mereka akan kita simpulkan.  Dari sana  kita mencoba  memahami pembentukan sebuah negara berdaulat berdasarkan semangat nasionalisme.

1.  Ernest Gellner

Ernest Gellner memahami nasionalisme  seba-gai proses  pembentukan kultur  suatu  bangsa.  Gellner  mengenal  dan  membedakan  kebudayaan tinggi  atau  high culture  dan  kebudayaan  rendah  atau  low  culture.  Kalau nasionalisme dipahami sebagai proses pembentukan  kultur bangsa, maka yang Gellner maksudkan adalah proses pembentukan high culture sebuah bangsa.  Dalam  proses  ini  kultur  yang  sifatnya  tinggi  tersebut  dikodifikasi.

Ada dua pertanyaan yang dapat diajukan antara lain :

1.  apa  yang  dimaksud  dengan  kebudayaan  tinggi  dan  kebudayaan rendah? 

2.  apa  yang  dimaksud  dengan  kodifikasi  kebudayaan  dan  menga-pa  hal itu perlu dilakukan? Sekali  lagi, high  culture adalah  kebudayaan yang  oleh  sebuah  negara dianggap  bernilai  tinggi  dan  pantas  dijadikan  sebagai  kebudayaan nasional. 

Menurut  Gellner,  kriteria  sebuah  kebudayaan  bernilai  tinggi  atau rendah  adalah apakah  kebudayaan tersebut  rasional  atau  tidak.  Misalnya sikap  ramah  (hospitality)  suatu  kelompok  masyarakat  menerima  siapa saja  yang  datang  dalam  hidup  mereka.  Kare-na  dapat  dipahami  secara rasional,  sikap  ramah  dapat  diterima  menjadi  salah  satu  kebudayaan nasional.  Sebaliknya,  jika  suatu  adat,  kebiasaan  atau  hasil  karya  yang membahayakan  hidup  orang  lain  atau  menggangu  ketenteraman  hidup orang lain akan sulit diterima dan diakui sebagai bagian dari kebudayaan nasional.  Dalam  kasus  seperti  ini  negara  bisa  saja  menolak  bahkan melarang  kebudayaan  seperti  itu.  Ingat,  arti  kebudayaan  adalah keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia.

Proses  pembentukan  high  culture  dalam  nasionalisme  adalah  proses standardisasi  kebudayaan  nasional.  Standardisasi  ini  selain  dapat mengalahkan,  memperlemah,  atau  membunuh  kebudayaan-kebudayaan lokal  atau  kedaerahan,  dapat  juga  membunuh  kebudayaan-kebudayaan yang  sifatnya  etnik  yang  sebetulnya  telah  ada  sebelum  adanya  negara.

Negara  sebenarnya  bukan  hanya  dapat  mengadopsi  salah  satu kebudayaan  etnik  yang  ada  menjadi  kebudayaan  nasional,  tetapi  juga menolak  atau  melarangnya.  Misalnya,  pemerintah  Inggris  mengizinkan kebebasan  beragama  dan  beribadah  di  Inggris,  tetapi  melarang pengajaran  agama  Kristen  di  sekolah  dasar dan sekolah  lanjutan.  Dalam contoh  yang  paling  terakhir,  pemerintah  Inggris  mengizinkan  sekolah- sekolah melarang  pemakaian jilbab di sekolah bagi siswi muslim dengan alasan  supaya  semua  siswa-siswi  dapat  berbaur  tanpa  hambatan  atau halangan eksternal dan internal.

Bagaimana  dengan  Indonesia?  Orde  Baru  sangat  mengutamakan kodifikasi  atau  standardisasi  kebudayaan  nasional  ini.  Dalam  bidang agama,  misalnya.  Orde  Baru  melarang sekte-sekte  dari suatu  agama  bila praktik  ritual  mereka  dipandang  mengganggu  ketertiban  umum  dan membahayakan  kehidupan berbangsa dan bernegara.  Begitu juga dengan bentuk  atau ungkapan kebudayaan  lainnya. Dalam arti ini praktik-praktik keagamaan  dari  sekte-sekte  tertentu  itu  bukan  merupakan  kebudayaan nasional. Pemerintah Orde Baru bahkan berani menentukan agama mana yang  resmi  dan  agama  mana  yang  tidak  resmi.  Agama  yang  resmi menurut versi  Orde Baru  dapat  dianggap sebagai high culture, sementara di luar itu adalah low culture.

Yang  dimaksud  dengan  kodifikasi  kebudayaan  adalah  proses standardisasi  kebudayaan.  Dengan  kata  lain,  proses  menentukan  mana kebudayaan  yang  dapat  menjadi  kebudayaan  nasional  dan  mana kebudayaan yang harus ditolak. Kodifikasi ini dilakukan untuk menjamin keberlangsungan  hidup suatu  bangsa.  Meskipun  demikian,  sering  terjadi bahwa kodifikasi ini sengaja dilakukan  penguasa atau elit  politik tertentu dengan  maksud untuk  melanggengkan kekuasaan mereka.  Dalam arti  itu kodifikasi  kebudayaan  didahului  oleh  adanya  propaganda  yang  sifatnya sangat ideologis. Menurut  Gellner,  kodifikasi  kultur  sebenarnya  dimaksud  untuk mencegah  monopoli  penentuan  kultur  nasional  hanya  oleh  elit  atau kelompok  tertentu  saja.  Nah,  ini  berarti  dalam  menentukan  mana kebudayaan yang  tinggi  dan  mana  yang rendah  ha-rus  mengikutsertakan seluruh  lapisan  masyarakat.  Bagi  Gellner,  proses  kodifikasi  dengan mengikut-sertakan  masyarakat  ini  sangat  mungkin  untuk  dilakukan, karena  pendidikan  massal  telah  berhasil  menyatukan  negara  dan kebudayaan  secara  bersama.  Setelah  terjadinya  proses  kodifikasi  atau standardisasi  kebudayaan  nasional  biasanya  diikuti  de-ngan  pendirian museum-museum,  penulisan  sejarah  negara,  pendirian   badan-badan ilmiah  tertentu yang bertujuan mempropagandakan dan menyebarluaskan pengetahuan resmi (pemerintah).

Pandangan Ernest Gellner bukan tanpa kele-mahan. Kelemahan utama pandangan  Gellner  adalah  bahwa  high  culture  bersifat  sangat  rasional. Dalam  hal  ini,  rasionalitas  tampaknya  terlalu  diagung-agungkan. Bagaimana  dengan  low  culture?  Apakah  identitas  kebangsaan  hanya dibentuk  oleh  high  culture?  Apakah  low  culture  seperti  praktik-praktik kultik  atau  ritus-ritus  agama  tertentu  atau  praktik-praktik  magi  dan sebagainya  harus  dikendalikan  dan  dilarang  karena  sifatnya  yang  tidak rasional.  Dewa-sa  ini  lebih  diterima  bahwa  low  culture  juga  menguntungkan bagi pembentukan identitas kebang-saan.

Dalam  arti  ini  pemerintah  atau  negara  tidak  perlu  melarang  praktik-praktik  magi  dan  perdukunan  sejauh  praktik-praktik  tersebut  tidak membahayakan  hidup  masyarakat  itu  sendiri.  Karena  itu,  pemikiran sementara  orang  untuk  melarang  praktik  magi  atau  membuat  perangkat hukum  untuk  menghukum  praktik  santet  bukan  hanya  tindak-an  yang tidak masuk akal, tetapi juga tindakan yang bodoh. Kalau  kamu  perhatikan  acara-acara  televisi  kita  dewasa  ini,  banyak sekali  dipenuhi  dengan  acara  setan,  alam  gaib,  dan  semacam-nya. Menurut  kategori  Gellner,  semua  ini  adalah  low  culture,  karena  tidak rasional.  Meskipun  demikian,  ungkapan  kebudayaan  seperti  ini  ikut membentuk identitas kebudayaan Indonesia. Sejauh tidak membahayakan ketertiban  umum,  ekspresi  kebudayaan  seperti  itu  sah-sah  saja  eksis  di bumi pertiwi Indonesia.

2.  Eric Hobsbawn

Berbeda  dengan  Gellner  yang  memahami  na-sionalisme  sebagai proses  pembentukan  high  cultu-re sebuah  bangsa, nasionalisme menurut Eric  Hobsbawn  dipahami  sebagai  pembentukan  iden-titas  kebangsaan. Pertanyaannya,  siapa  yang  mem-bentuk  identitas  kebangsaan  itu? Apakah  identitas  kebangsaan  dibentuk  oleh  seluruh  warga  masyarakat atau  hanya  kelompok  elit  saja?  Hobsbawn  berpendapat  bahwa  yang membentuk identias  kebang-saan adalah elit. Masyarakat pada  umumnya tidak  ikut  serta  dan  tidak  diikutsertakan  dalam  proses  pembentukan identitas kebangsaan. 

Dalam  proses  pembentukan  identitas  kebangsaan  ini  elit  umumnya menciptakan  simbol-simbol yang dapat mendukung tercapainya  identitas ke-bangsaan.  Misalnya,  untuk  menunjukkan  bahwa  identitas  bangsa sebagai  bangsa  bahari,  para  elit  menciptakan  simbol-simbol  yang berhubungan  dengan dunia  bahari. Misalnya, kapal laut,  perahu  nelayan, patung  nelayan,  dan  sebagainya.  Setelah  diciptakan,  simbol-simbol  ini kemudian  ditafsirkan  oleh  para  elit.  Tafsiran  tersebut  umumnya  meng- gambarkan identitas ideal suatu bangsa. Simbol-simbol  dalam  bentuk  monumen-monumen  menjadi  contoh yang  sangat  jelas  bagaimana  identitas  kebangsaan  hendak  dibangun.  Di Indonesia  kita  memiliki  banyak  sekali  monumen  yang  maknanya  penuh dengan nilai-nilai kebangsaan. Kalian bisa mendalami apa makna di balik simbol  Monumen  Nasional  (Monas),  monumen  Pancasila  sakti,  dan monumen proklamator di Jakarta.

Menurut Hobsbawn, dalam membentuk identitas kebangsaan, para elit juga berusaha menafsirkan tradisi-tradisi sebegitu rupa, dengan dukungan ideologi  tertentu,  dengan  maksud  untuk  menghubungkan  identitas kebangsaan  sampai  ke  masa  yang  sangat  lampau.  Penciptaan  identitas kebangsaan  semacam  ini  biasanya  juga  mengedepankan nilai-nilai  luhur nenek  moyang  suatu  bangsa  yang  dapat  dijadikan  anutan  masyarakat dewasa ini.

Misalnya, Indonesia ingin menanamkan nilai-nilai kebangsaan dengan belajar  dari  nilai-nilai  kebangsaan  yang  ada  pada  Kerajaan  Sriwijaya. Menurut  Dr.  P.J.  Suwarno  (Pancasila  Budaya  Bangsa  Indonesia, Kanisius,  Yogyakarta:  1993,  hlm.  20-21),  Sriwijaya  yang  berpusat  di Sumatra,  telah  mempraktikkan  nilai-nilai  persatuan,  ketuhanan, kemasyarakatan, ekonomi, dan hubungan internasional. Di mata para elit, nilai-nilai  hidup  yang  ada  dalam  masyarakat  Kerajaan  Sriwijaya  ini menjadi  bukti  bahwa  sudah  sejak  lama  bangsa  Indonesia  memiliki kepribadian atau identitas bangsa yang agung dan luhur.

Tidak hanya itu. Menurut Eric Hobsbawn, dalam membentuk identitas kebangsaan,  para  elit  juga  sering  mengadakan  perayaan-perayaan  dan upa-cara-upacara  kenegaraan.  Melalui  perayaan-perayaan  semacam inilah  para elit menanamkan  dalam diri masyarakat akan  nilai-nilai luhur bangsanya,  misalnya  dengan  merenungkan  kembali  jasa-jasa  para pahlawan  bangsa,  dan  sebagainya.  Karena  itu,  jangan  heran  jika  dalam suatu  negara  perayaan-perayaan  kenegaraan  dianggap  sebagai  bagian yang penting dari proses pembentukan identitas kebangsaan.

Bagi  Hobsbawn,  massa  rakyat  menerima  begitu  saja  simbol-simbol dan  propaganda-propaganda  yang  dilancarkan  elit.  Di  sini  sering  kali orang lupa, bahwa elit melakukan propaganda melalui simbol-simbol dan perayaan-perayaan  keagamaan  tidak  hanya  sebatas  menyimbolkan perasaan  menjadi  bagian  dari  suatu  bangsa.  Elit  melakukan  ini  juga dengan tujuan melegitimasikan kekuasaan mereka.

Bagaimana  kita  menyikapi  pandangan  Eric  Hobsbawn  ini?  Ada  duakelemahan utama yang dapat dikemukakan,  yakni Pertama, Massa  rakyat dianggap  bodoh. Rakyat dianggap tidak  memiliki  sikap  kritis  dan  hanya menerima  begitu  saja  penciptaan  simbol-simbol  dalam  proses pembentukan  identitas  bangsa.  Rakyat  juga  dianggap  bodoh  dan mengikuti  sa-ja  upacara-upacara  kenegaraan  tanpa  mempertanyakan relevansinya.  Pandangan  semacam  ini  sudah  tidak  sesuai  lagi  dengan keadaan sekarang.Kedua, Eric Hobsbawn lupa, bahwa simbol yang dicip-takan oleh para elit  sebenarnya  bukan  semata-mata  merepresentasikan  sesuatu.  Simbol- simbol  tersebut  juga  memberi   kemungkinan  agar  orang  lain  selain  elit atau  penguasa  menerap-kan  makna  ke  dalam  simbol-simbol  tersebut.

Dengan  demikian,  jarang  terjadi  bahwa  simbol-simbol  atau  upacara kenegaraan  hanya  memiliki  makna  tunggal.  Bagi  para  elit,  upacara  17 Agustus  dapat  menjadi  momen  pembentukan  iden-titas  bangsa.  Akan tetapi  bagi  sebagian  orang,  upacara  17  Agustus  adalah  saat  di  mana rakyat  berpesta  makan,  minum,  dan  mengadakan  pertandingan  olahraga di  lingkungan  masing-masing  tanpa  ada  hubungan  dengan  semangat nasionalisme.  Di sini  Hobsbawn lupa bahwa makna harus  bersifat  plural, juga  dalam  produksi  identitas  kebangsaan.  Masyarakat  mampu menciptakan simbol dan menafsirkan sesuai kehendak mereka.

3.  Benedict Anderson

Nama  ahli  politik  yang  satu  ini  cukup  dikenal  di  Indonesia.  Dia menulis buku Imagined Community yang amat terkenal. Guru besar ilmu politik dari Cornell University (AS) ini adalah salah seorang Indonesianis garda depan. Benedict  Anderson  memahami  nasionalisme  sebagai  komunitas khayalan  (imagined  community)  yang  disatukan  oleh  sebuah persahabatan  horisontal  yang  mendalam  di  mana  anggota-anggotanya diyakini  mengkonstitusi  (menciptakan)  sebuah  en-titas  yang  kuat  dan utuh.

Bagi  Anderson,  komunitas  khayalan  ini  ada  atau  terbentuk  karena kekuatan  media  massa,  khususnya  media  cetak.  Media  cetak  sangat berperan  dalam  menyebarluaskan  diseminasi  (penggandaan) gagasan/ide dari bangsa. Anderson menekankan bahwa bacaan atas surat kabar harian atau  majalah  mingguan  yang  secara  teratur  dan  sinkronik  membentuk para  pembacanya  untuk  berbagi  perasaan,  gagasan  atau  serangkaian minat  bersama,  karena  isi  dan  fokus  dari  berita.  Menurut  Anderson, penga-laman kebangsaan berakar setiap hari karena sha-red reading ini.

Mari  kita kemukakan sebuah  contoh  untuk  menjelaskan  konsep  yang abstrak  ini.  Tanggal  26  Desember  2004  gelombang  tsunami menghancurkan  Provinsi  Nangro  Aceh  Darussalam  dan  mene-waskan ratusan  ribu  orang.  Seluruh  masyarakat  bangsa  Indonesia  ikut  bersedih dan  membantu  saudaranya  yang  tertimpa  musibah  tersebut.  Perasaan bahwa  Aceh adalah bagian  dari  saudara  kita  umumnya ditimbulkan oleh media  massa  yang  kita  baca, tonton, atau  dengar.  Kalian bisa  bayangkan apa  jadinya  kalau  bencana  itu  terjadi  pada  zaman  di  mana  media  massa belum  mengalami  kemajuan  seperti  sekarang  ini.  Barangkali  tidak  akan muncul banyak orang yang mengetahui dan membantu.

Nah,  kira-kira  proses  pembentukan  nasionalisme  menurut  Benedict Anderson  terjadi  seperti  itu.  Suatu  komunitas  pada  akhirnya  memiliki perasaan  kebangsaan  yang  sama  karena  perasaan  itu  ditimbulkan  oleh kesamaan minat dan perhatian mereka. Kesamaan minat dan perhatian it ditimbulkan  oleh  media  cetak  (koran  dan  majalah)  yang  mereka  baca. Kesamaan  minat  dan  perhatian  itu  pada  gilirannya  memicu  perasaan komunitas  tersebut  untuk  mengkhayalkan  sebuah  masyarakat  tempat mereka  hidup  bersama  sebagai  warga  masyarakat.  Wujud  konkret  dari komunitas khayalan itu adalah negara.

Konflik  antara  Indonesia  dan  Malaysia  di  perairan  Ambalat  yang memicu  gelombang  protes  masyarakat  Indonesia  pun  dapat  dipahami dengan  memakai  pemahaman  Anderson  ini.  Harus  diakui  bahwa  kita mengetahui  adanya  konflik  tersebut  dari  media  massa.  Media  massalah yang  menimbulkan  perasaan  kebangsaan  kita.  Kehadiran  kapal-kapal perang  dan  tentara  Indonesia  yang  siaga  dua  puluh  empat  jam  memicu khayalan  kita  untuk  membayangkan  sebuah  keutuhan  wilayah  dan kebesaran  bangsa  Indonesia.  Khayalan-khayalan  seperti  inilah  yang menyatukan  masyarakat  dalam  gelombang  protes  terhadap  tindakan sewenang-wenang Malaysia. Di  sini  memang  perasaan lebih memainkan peran daripada pikiran. Nasionalisme sebagai imagined community harus lebih menonjolkan perasaan daripada pikiran.

Bagaimanapun  juga,  pemikiran  Anderson  ada  kelemahannya  juga. Kelemahaman  pandangan  Anderson  adalah  bahwa  dia  hanya menekankan peran  media  cetak dalam menghasilkan kultur  dan  identita kebangsaan.  Padahal  masih  ada  lagi  produksi  kultur  dan  identita kebangsaan  melalui  ruang  musik  (music  hall)  dan  teater,  musik-musi popular, pesta-pesta, arsitektur,  fesyen,  juga  melalui televisi, film,  radio, dan teknologi informasi lainnya.

4.  Anthony Smith

Masih  ingat  pandangan  Ernest  Gellner  dan  Eric  Hobsbawn  mengenai nasionalisme?  Di  atas  sudah  dikemukakan  kelemahan-kelemahan  dari pandang-an  mereka.  Nah,  Anthony  Smith  sendiri  mengkhususkan  diri untuk mengkritik secara tajam pandangan Gellner dan Hobsbawn tentang sifat  nasionalisme.  Gellner  dan  Hobsbawn  berpendapat  bahwa nasionalisme  adalah  produk  modern,  jadi  masa-masa  sebelum  zaman modern belum ada nasionalisme. Bagi  Smith, nasionalisme atau perasaan kebang-saan  sudah  ada  jauh  sebelum  lahirnya  suatu  bang-sa.  Perasaan kebangsaan sudah ada bahkan dalam diri kelompok etnis yang kemudian mendorong me-reka untuk membentuk negara itu sendiri.

Di  sini  Smith  memahami  etnisitas  sebagai  kelompok  sosial  dengan identitas  tertentu  dan  yang  membedakan  diri  mereka  dari  orang  lain.Umumnya  kelompok-kelompok  etnis  membentuk  sendiri  batas-batas (boundaries) dan  menciptakan simbol-simbol  yang menjadi tanda bahwa “kita”  (us)  berbeda  dari  “mereka”  (they).  Dalam  perkembangannya, kelompok-kelompok  etnis  semacam  ini  bisa  saja  membentuk  sebuah negara.  Kalau  ini  yang  terjadi,  maka  nasionalismenya  bersifat nasionalisme etnik.

Selain  berpendapat  bahwa  perasaan  dan  identitas  kebangsaan  sudah ada  jauh  sebelum  terbentuknya  sebuah  negara,  Smith  juga  berpendapat bahwa  nasionalisme  berhubungan  dengan  pembentukan  identitas nasional  suatu  bangsa.  Pembentukan  identitas  nasional  dapat  terjadi melalui  penciptaan  simbol-simbol  nasional.  Bagi  dia,  simbol-simbol nasional  tidak diciptakan  sepihak  oleh  elit,  tapi  oleh  berbagai  kelompok yang  berbeda.  Karena  mengikutsertakan  banyak  kelompok  masyarakat dalam  penciptaan  simbol-simbol  nasional,  maka  sering  terjadi  konflik dalam  proses  penciptaan  simbol-simbol  nasional  ini.  Konflik-konflik tersebut wajar dan perlu sejauh tidak membawa perpecahan bangsa. Menurut Smith,  dalam  menciptakan  simbol-simbol  tersebut  tidak  ada cetak  biru (blue print) yang siap  dipakai sebagai contoh.  Tidak hanya itu.

Bah-kan dalam proses pembentukan  kebudayaan nasio-nal pun tidak ada cetak  biru.  Karena  itu,  seluruh  lapisan  masyarakat  benar-benar  harus terlibat  dan  berpartisipasi  dalam  proses  pembentukan  identitas  nasional dan kebudayaan bangsanya.

Jika terjadi bahwa dalam proses pembentukan identitas bangsa melalui penciptaan  simbol-simbol  tersebut  tidak  ada  serangakaian  simbol  yang dapat  diterima  bersama,  maka  pada  saat  ini  kelompok-kelompok  sosial yang  ada  harus  memilih  simbol-simbol  yang  multipel  dengan  maksud supaya  kelompok-kelompok  yang  berbeda  pandangan  dapat  didorong untuk  menerima  dan  mengidentifikasikan  dirinya  dengan  simbol-simbol tersebut.

Menurut  Smith,  dapat  saja  terjadi  bahwa  ada  kebudayaan  dari  etnis tertentu  yang  diterima  sebagai  kebudayaan  nasional  asal  memenuhi persyaratan.  Syaratnya  adalah  kebudayaan  dari  etnis   tersebut  harus masuk akal dan kredibel. Perhatikan di sini bahwa masuk akal tidak sama dengan  rasional.  Sesuatu  yang  masuk  akal  belum  tentu  rasional, sementara  sesuatu  yang  rasional  sudah  tentu  masuk  akal.  Ziarah  ke kuburan  dan  bersemedi  untuk  meminta  “berkat  dan  pertolongan”  dari arwah  nenek  moyang  atau  tokoh-tokoh  terkenal  yang  sudah  mati memang  tidak  rasional, tetapi  masuk  akal.  Karena itu  upacara seperti  ini dapat menjadi ekspresi dari kebudayaan nasional Indonesia Dengan  pandangan  semacam  ini  Smith  sebetulnya  memiliki pemahaman  yang  sangat  baik  mengenai  kebudayaan.  Bagi  dia, kebudayaan  adalah  sesuatu  yang  dinamis.  Sifat  dinamis  ini  ada  karena proses  pembentukannya tidak mengikuti cetak biru tertentu,  tetapi proses bersama  dari  seluruh  anggota  masyarakat.  Selain  itu,  kebudayaan  suatu bangsa  terdiri  dari  macam-macam  unsur,  an-tara  lain  unsur  repository (kebudayaan-kebudayaan  yang  sudah  ada  sekarang  dan  masih  terpelihara),  unsur  warisan  antargenerasi,  serangkaian  tradisi,  dan pembentukan  secara  aktif  makna  dan  imaji-imaji  oleh  masyarakat  itu sendiri.  Unsur  yang  terakhir  ini—pembentukan  secara  aktif  makna  dan imaji-imaji  oleh  masyarakat  itu  sendiri—terejawan-tah  dalam  nilai-nilai, mitos-mitos,  dan  simbol-simbol   yang  pantas  untuk  menyatukan sekelompok  orang  dengan  pengalaman-pengalaman  dan  kenangan- kenangan  yang  sama  dan  yang  membeda-kan  me-reka  dari  kelompok luar.

Sebagai kritik terhadap pandangan Gellner dan  Hobsbawn, pandangan Anthony  Smith  nyaris  sempurna;  karena  itu  tidak  perlu  dikritik.  Kita akan  kembali  ke  pandangan-pandangannya  ketika  membica-rakan proyeksi  nasionalisme  Indonesia  dan  pembentukan  negara  Republik Indonesia.

5.  Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo

Sebagai sejarawan, Prof. Sartono Kartodirdjo tentu saja merefleksikan nasionalisme  dari  pers-pektif  Indonesia.  Tidak  dapat  dipungkiri, nasionalisme  Indonesia  timbul  sebagai  reaksi  terhadap  kolonialisme Belanda dan Jepang. 

Dalam  artikelnya  berjudul  Kebangkitan  Nasional  dan  Nasionalisme Indonesia  (Lihat:  http://202.159.  18.43/jsi/1sartono.htm),  Sartono berpendapat  bahwa  nasionalisme  pertama-tama  adalah  penemuan identitas  diri.  Ini  merupakan  tingkat  yang  paling  primordial  di  mana kelompok  masyarakat  tertentu  berusaha  merumuskan  identitas  dirinya berhadapan  dengan  kelompok-kelompok  sosial  lainnya.  Identitas  diri tersebut,  begitu selesai dirumuskan,  akan  menempatkan kelompok sosial tersebut sebagai yang berbeda dengan kelompok sosial lainnya.  Dengan  demikian,  proses  penemuan  identitas  diri  sekaligus  menjadi proses  penetapan  boundaries  yang  membedakan   “kelompok  kita”  dari “kelompok mereka”.

Dalam  konteks  Indonesia,  proses  penemuan  identitas  diri  ini  muncul pertama-tama  karena  pengalaman  negatif  dijajah  oleh  Belanda. Penjajahan  Belanda  telah  menghasilkan  diskriminasi  yang  melembaga yang  menimbulkan  rasa  inferioritas  dalam  diri  orang  Indonesia  sendiri. Dalam  kehidupan  sehari-hari  Belanda  secara  sengaja  mendiskriminasi orang-orang  Indonesia  melalui  pakaian,  bahasa,  tempat  tinggal,  dan simbol-simbol otoritas lainnya.

Menurut  Sartono,  pengalaman  didiskriminasi  seperti  ini  telah mendorong  kaum  terpelajar  Indonesia  untuk  membentuk  organisasi Boedi  Oetomo  (BO)  pada  tanggal  20  Mei  1908.  Pembentukan  BO  ini sendiri  adalah  antitesis  terhadap  sikap  diskrimi-natif  Belanda  sekaligus menjadi momen merumus-kan identitas kebangsaan Indonesia.

Wujud  tertinggi  dari  proses  pencarian  dan  perumusan  identitas kebangsaan  ini  adalah  munculnya  nasionalisme  politik  yang  lebih  jelas arah  dan  tujuannya.  Nasionalisme  politik  mengusung  proyek  kemerdekaan Indonesia sebagai  tujuan yang  hendak  dicapai.  Nah,  begitu kesadaran kebangsaan seperti  ini muncul,  kesadaran ini  sendiri  langsung membedakan bangsa Indonesia dari bangsa Belanda.  Nasionalisme  politik  kemudian  diikuti  dengan  langkah-langkah praktis-konkret  upaya  memperjuangkan  kemerdekaan.  Seluruh perjuangan  organisasi  politik  dan  tentara  Indonesia  bermula  dari  penemuan  identitas  kebangsaan  semacam  ini.  Dalam  arti  ini  BO  memainkan peran  yang  sangat  penting  sebagai  organisasi  yang  mengintegrasikan kaum  kaum  terpelajar  dengan  kaum  elit  lainnya  dan  sebagai  simbol identitas  kolektif  masyarakat.  Boedi  Oetomo  mendefinisikan  identitas kolektif bangsa Indonesia, yakni ingin hidup merdeka dan bermartabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar