BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.
Bahwasanya secara normatif wanita mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan pria dalam segala bidang kehidupan dan bidang pembangunan seperti yang tercantum dalam GBHN, tetapi secara factual persamaan tersebut saat ini belum terwujud, diantaranya di bidang kesehatan. Masih banyak wanita yang mengalami diskriminasi dalam bidang kesehatan, umpamanya: pembedaan pemberian makanan bergizi pada anak laki-laki dan wanita, akses informasi, dan akses pelayanan kesehatan dan sebagainya.
Untuk menghilangkan hambatan-hambatan ini salah satu usaha pemerintah berusaha untuk meningkatkan pelayanan terhadap wanita usia produktif dengan menyediakan puskesmas dan rumah sakit dengan berbagai fasilitasnya. Tetapi di Indonesia, usaha dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi ini masih belum mencapai tujuan yang diinginkan.
Hal ini masih terbukti masih tingginya angka kematian ibu bersalin yaitu 375/100.000 kelahiran hidup, tertinggi di Asia Tenggara. Tingginya angka kematian ibu, disinyalir penyebab utamanya adalah perdarahan, infeksi, dan toksernia dan penyebab tak langsung adalah kemiskinan, tradisi sosial budaya, status gizi yang tidak memadai dan kurangnya akses pemanfaatan dan faslitas kesehatan serta rendahnya status wanita. Masalah kesehatan reproduksi wanita ini tidak terlepas dari faktor sosial, budaya danekonomi secara keseluruhan.
Oleh sebab itu diperlukan usaha-usaha yang lebih sederhana, lebih mudah terjangkau, lebih sesuai dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya setempat, dan juga mengikut sertakan masyarakat secara umum dan terpadu. Hal yang lebih penting dalam memasyarakatkan kesehatan reproduksi ini adalah kesadaran dan motivasi masyarakat sendiri (terutama pihak wanita) yang menjaga kesehatan reproduksinya.
Artinya hal ini membawa pemikiran baru untuk mengefektitkan serta mengintensitkan pelaksanaan berdasarkan kesadaran masyarakat dan kebutuhannya sendiri. Terobosan dan strategi bagaimana memasyarakatkan program kesehatan reproduksi khususnya reproduksi wanita tanpa arahan atau paksaan. Untuk itu penulis ingin mengetahui lebih dalam bagaimana tanggapan wanita sendiri dan masyarakatnya tentang kesehatan reproduksi mereka.
1.2 Konsep Pemikiran Tentang Kesehatan Reproduksi Wanita
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk mempertinggi derajat kesehatan masyarakat. Demi tercapainya derajat kesehatan yang tinggi, maka wanita sebagai penerima kesehatan, anggota keluarga dan pemberi pelayanan kesehatan harus berperan dalam keluarga, supaya anak tumbuh sehat sampai dewasa sebagai generasi muda. Oleh sebab itu wanita, seyogyanya diberi perhatian sebab :
1. Wanita menghadapi masalah kesehatan khusus yang tidak dihadapi pria berkaitan dengan fungsi reproduksinya
2. Kesehatan wanita secara langsung mempengaruhi kesehatan anak yang dikandung dan dilahirkan.
3. Kesehatan wanita sering dilupakan dan ia hanya sebagai objek dengan mengatas namakan “pembangunan” seperti program KB, dan pengendalian jumlah penduduk.
4. Masalah kesehatan reproduksi wanita sudah menjadi agenda Intemasional diantaranya Indonesia menyepakati hasil-hasil Konferensi mengenai kesehatan reproduksi dan kependudukan (Beijing dan Kairo).
Berdasarkan pemikiran di atas kesehatan wanita merupakan aspek paling penting disebabkan pengaruhnya pada kesehatan anak-anak. Oleh sebab itu pada wanita diberi kebebasan dalam menentukan hal yang paling baik menurut dirinya sesuai dengan kebutuhannya di mana ia sendiri yang memutuskan atas tubuhnya sendiri.
1.3 Pandangan Masyarakat terhadap Kesehatan Wanita.
Dalam diskusi kelompok terarah (DKT) yang berkenaan dengan kesehatan reproduksi wanita, sebenarnya pandangan masyarakat terhadap hal tersebut. Kesehatan alat reproduksi sebenarnya bukanlah penting menurut mereka. Juga sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa peristiwa mulai dari haid sampai perkawinan, hamil, melahirkan atau segala yang berkaitan dengan alat kelamin wanita adalah peristiwa alamiah dan tidak perlu dibesar-besarkan.
Pandangan yang telah berurat berakar baik pada kelompok wanita dan masyarakat tidak terlepas dari peran jender wanita yang disosialisasikan bahwa wanita haru mendahulukan kepentingan-kepentingan di luar dirinya, dan bahkan sering mengabaikan kesehatannya sendiri.
Definisi sehat dan sakit dalam pengertian masyarakat desa berbeda dengan pengertian medis. Pengertian medis yang menyatakan sakit adalah terganggunya salah satu organ tubuh dalam menjalankan fungsinya, dianggap masyarakat bukanlah sakit sepanjang masih dapat berjalan dan melakukan kegiatan seperti biasa. Berkaitan dengan kesehatan reproduksi wanita, masyarakat beranggapan bahwa hal tersebut merupakan masalah “pribadi” yang bersangkutan.
Akibatnya banyak wanita jika mengalami penyakit yang berkaitan dengan alat reproduksinya berusaha mengatasi sendiri, misalnya dengan obat tradisional atau jamu. Padahal masalahnya tidak sesederhana itu, jika penyakitnya sudah parah barulah mereka mencari pertolongan dokter, atau bidan.
Hal lain yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi wanita, adalah mengenai kegiatan ber-KB. Masyarakat termasuk wanita yang .berusia subur beranggapan bahwa yang ber-KB adalah wanita. Meskipun laki-laki pun dapat ber-KB misalnya dengan metode vasektomi, tetapi baik wanita maupun laki-laki sama-sama keberatan.
Alasan wanita adalah suami adalah tulang punggung keluarga dalam rnencari ekonomi rumah tangga. Jika terjadi apa-apa (misalnya suami sakit gara-gara ber-KB), siapa yang menangung biaya rumah tangga? Dalam hal ini wanita “mengalah” membiarkan dirinya ber-KB, meskipun kadangkala kesehatan tidak mengizinkan atau alat kontrasepsi sering tidak cocok. Alasan bagi laki-laki enggan ber-KB adalah dengan mendengar “issue” mereka akan mengalami kehilangan gairah seksual. Dengan asumsi seperti ini memang sukar menghilangkan “dogma” tersebut dalam
Pandangan lain yang sehubungan dengan kesehatan reproduksi wanita adanya sebaiknya dalam memeriksa adalah dokter, bidan atau petugas sesame wanita juga. Sebagian responden mengakui bahwa suami mereka menghendaki jika istri mereka terpaksa berobat ke puskesmas atau rumah sakit, terlebih dahulu cari dokter, bidan atau petugas kesehatan sesama wanita. Alasannya sangat janggal kalau alat reproduksi wanita “dilihat” oleh orang lain apalagi laki-laki lain. Kalau melahirkan masih dapat dimaafkan, tetapi kalau sekedar berobat atau memeriksa kehamilan sebaiknya dengan petugas sesama wanita.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Kesehatan Wanita.
Berdasarkan Konferensi Wanita sedunia ke IV di Beijing pada tahun 1995 dan Koperensi Kependudukan dan Pembangunan di Cairo tahun 1994 sudah disepakati perihal hak-hak reproduksi tersebut. Dalam hal ini (Cholil,1996) menyimpulkan bahwa terkandung empat hal pokok dalam reproduksi wanita yaitu :
• Kesehatan reproduksi dan seksual (reproductive and sexual health)
• Penentuan dalam keputusan reproduksi (reproductive decision making)
• Kesetaraan pria dan wanita (equality and equity for men and women)
• Keamanan reproduksi dan seksual (sexual and reproductive security)
Adapun definisi tentang arti kesehatan reproduksi yang telah diterima secara internasional yaitu : sebagai keadaan kesejahteraan fisik, mental, sosial yang utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan sistim, fungsi-fungsi dan proses reproduksi. Selain itu juga disinggung hak produksi yang didasarkan pada pengakuan hak asasi manusia bagi setiap pasangan atau individu untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah anak, penjarakan anak, dan menentukan kelahiran anak mereka.
2.2 Indikator Permasalahan Kesehatan Wanita.
Dalam pengertian kesehatan reproduksi secara lebih mendalam, bukan semata-mata sebagai pengertian klinis (kedokteran) saja tetapi juga mencakup pengertian sosial (masyarakat). Intinya goal kesehatan secara menyeluruh bahwa kualitas hidupnya sangat baik. Namun, kondisi sosial dan ekonomi terutama di negara-negara berkembang yang kualitas hidup dan kemiskinan memburuk, secara tidak langsung memperburuk pula kesehatan reproduksi wanita. Indikator-indikator permasalahan kesehatan reproduksi wanita di Indonesia antara lain:
1. Jender, adalah peran masing-masing pria dan wanita berdasarkan jenis kelamin menurut budaya yang berbeda-beda. Jender sebagai suatu kontruksi social mempengaruhi tingkat kesehatan, dan karena peran jender berbeda dalam konteks cross cultural berarti tingkat kesehatan wanita juga berbeda-beda.
2. Kemiskinan, antara lain mengakibatkan:
• Makanan yang tidak cukup atau makanan yang kurang gizi
• Persediaan air yang kurang, sanitasi yang jelek dan perumahan yang tidak layak.
• Tidak mendapatkan pelayanan yang baik.
2.2.1 Pendidikan yang rendah.
Kemiskinan mempengaruhi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Kesempatan untuk sekolah tidak sama untuk semua tetapi tergantung dari kemampuan membiayai. Dalam situasi kesulitan biaya biasanya anak laki-laki lebih diutamakan karena laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Dalam hal ini bukan indikator kemiskinan saja yang berpengaruh tetapi juga jender berpengaruh pula terhadap pendidikan. Tingkat pendidikan ini mempengaruhi tingkat kesehatan. Orang yang berpendidikan biasanya mempunyai pengertian yang lebih besar terhadap masalah-masalah kesehatan dan pencegahannya. Minimal dengan mempunyai pendidikan yang memadai seseorang dapat mencari liang, merawat diri sendiri, dan ikut serta dalam mengambil keputusan dalam keluarga dan masyarakat.
2.2.2 Perkawinan di usia muda
Di negara berkembang termasuk Indonesia kawin muda pada wanita masih banyak terjadi (biasanya di bawah usia 18 tahun). Hal ini banyak kebudayaan Yang menganggap kalau belum menikah di usia tertentu dianggap tidak laku. Ada juga karena faktor kemiskinan, orang tua cepat-cepat mengawinkan anaknya agar lepas tanggung jawabnya dan diserahkan anak wanita tersebut kepada suaminya. Ini berarti wanita muda hamil mempunyai resiko tinggi pada saat persalinan. Disamping itu resiko tingkat kematian dua kali lebih besar dari wanita yang menikah di usia 20 tahunan. Dampak lain, mereka putus sekolah, pada akhirnya akan bergantung kepada suami baik dalam ekonomi dan pengambilan keputusan.
2.2.3 Kekurangan gizi dan Kesehatan yang buruk.
Menurut WHO di negara berkembang terrnasuk Indonesia diperkirakan 450 juta wanita tumbuh tidak sempurna karena kurang gizi pada masa kanak-kanak, akibat kemiskinan. Jika pun berkecukupan, budaya menentukan bahwa suami dan anak laki-laki mendapat porsi yang banyak dan terbaik dan terakhir sang ibu memakan sisa yang ada. Wanita sejak ia mengalami menstruasi akan membutuhkan gizi yang lebih banyak dari pria untuk mengganti darah yang keluar. Zat yang sangat dibutuhkan adalah zat besi yaitu 3 kali lebih besar dari kebutuhan pria. Di samping itu wanita juga membutuhkan zat yodium lebih banyak dari pria, kekurangan zat ini akan menyebabkan gondok yang membahayakan perkembangan janin baik fisik maupun mental. Wanita juga sangat rawan terhadap beberapa penyakit, termasuk penyakit menular seksual, karena pekerjaan mereka atau tubuh mereka yang berbeda dengan pria. Salah satu situasi yang rawan adalah, pekerjaan wanita yang selalu berhubungan dengan air, misalnya mencuci, memasak, dan sebagainya. Seperti diketahui air adalah media yang cukup berbahaya dalam penularan bakteri penyakit.
2.2.4 Beban Kerja yang berat.
Wanita bekerja jauh lebih lama dari pada pria, berbagai penelitian yang telah dilakukan di seluruh dunia rata-rata wanita bekerja 3 jam lebih lama. Akibatnya wanita mempunyai sedikit waktu istirahat, lebih lanjut terjadinya kelelahan kronis, stress, dan sebagainya. Kesehatan wanita tidak hanya dipengaruhi oleh waktu kerja, tetapi juga jenis pekerjaan yang berat, kotor dan monoton bahkan membahayakan. Di India banyak kasus keguguran atau kelahiran sebelum waktunya pada musim panen karena wanita terus-terusan bekerja keras. Dibidang pertanian baik pria maupun wanita dapat terserang efek dari zat kimia (peptisida), tetapi akan lebih berbahaya jika wanita dalam keadaan hamil, karena akan berpengaruh terhadap janin dalam kandungannya. Resiko-resiko yang harus dialami bila wanita bekerja di industri-industri misalnya panas yang berlebihlebihan, berisik, dan cahaya yang menyilaukan, bahan kimia, atau radiasi.
Peran jender yang menganggap status wanita yang rendah berakumulasi dengan indikator-indikator lain seperti kemiskinan, pendidikan, kawin muda dan beban kerja yang berat mengakibatkan wanita juga kekurangan waktu, informasi, untuk memperhatikan kesehatan reproduksinya.
2.3 Wanita Di Tempat Kerja
Kesehatan reproduksi menjadi cukup serius sepanjang hidup, terutama bagi perempuan, selain karena rawan terpapar penyakit, juga berhubungan dengan kehidupan sosialnya, misalnya kurangnya pendldikan yang cukup, kawin muda, kematian ibu, masalah kesehatan reproduksi perempuan, masalah kesehatan kerja, menopause, dan masalah gizi (Baso dan Raharjo, 1999).
Sebagaian besar perempuan bekerja keras setiap hari, memasak, membersihkan rumah demi kelangsungan hidup keluarga. Namun jika perempuan juga bekerja di luar rumah (mencari penghasilan), maka beban kerjanya menjadi rangkap. Beban kerja yang terlalu berat membuat seorang perempuan mengalami kecapekan dan mudah terserang penyakit. Terlebih lagi bila seorang perempuan tidak punya cukup waktu untuk istirahat dan tidak memperoleh cukup perhatian akan kondisi kesehatannya.
Tujuan dari penelitian ini adalah
1. Mengkaji karakteristik wanita
2. Mengkaji aktivitas kerja yang dilakukan oleh wanita yang bekerja di sektor informal
3. Mengkaji kondisi kesehatan reproduksi
4. Mengkaji aktivitas kerja dan kondisi kesehatan reproduksi wanita. yang bekerja di sektor informal. Diharapkan penelitian ini
1. didapatkan suatu informasi mengenai kondisi kesehatan reproduksi pada kelompok pekerja wanita dan
2. Sebagai data yang dapat dipergunakan untuk pengembangan pelayanan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi pada wanita.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan menggunakan rancangan Cross Sectional. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan kuesioner terstruktur pada 33 responden wanita yang bekerja di usaha kegiatan konveksi dan katering. Analilisis data dilakukan dengan melakukan tabel distribusi frekuensi dan tabel silang.
Hasil penelitian ini menunjukkan: sebagian besar responden berada pada kelompok usia 40-49 tahun. Sebagian besar telah tamat SMP. Dilihat dan aktivitas kerja sahagian besar responden 54,5% bekerja salama 7 hari/minggu. Dalam 1 hari sebagian besar bekerja kurang dari 6 jam sehari.\
Dalam kaitan dengan kesehatan reproduksi usia pertama kali menikah sebagian besar berusia 15-20 tahun dan 78,8% responden mempunyai anak setelah pernikahan. Hal ini menunjukkan tingkat kesuburan dari responden. Hasil penelitian juga menunjukkan sebagian kecil responden belum mempunyai anak (belum pernah hamil dan mengalami keguguran).
Dalam kaitan dengan pengaturan kehamilan sebagian besar tidak melakukan pengaturan terhadap kehamilan dan jumlah anak yang diinginkan. Kondisi ini dapat dimungkinkan antara lain kesempatan bekerja di luar rumah membuat responden mempunyai otonomi yang besar dalam hal yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Sedangkan bagi responden yang mengatur kehamilan dengan menggunakan kontrasepsi maka jenis kontrasepsi modern menjadi pilihannya baik atas pertimbangan sendiri maupun atas pertimbangan suami istri. Askes pelayanan KB maupun kesehatan reproduksi sebagaian besar pergi ke tempat pelayanan kesehatan. Sebagaian besar responden mengaku menstruasi pertama kali setelah usia lebih 12 tahun dan sebagian besar tidak mengalami sakit saat mentruasi dengan siklus antara 21-35 hari. .
Kondisi kesehatan reproduksi di tempat kerja menunjukkan belum banyak responden yang mendapatkan hak reproduksi sehat (cuti haid, kelahiran, dan pemberian ASI. Sedangkan aktivitas kerja di luar rumah tampak masih ada yang belum mempunyai anak. Untuk memelihara kesehatan manusia memerlukan kerja dan istirahat yang cukup sehingga tidak mudah sakit terutama yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan penelitian ini adalah sebagaian besar responden pada kelompok usia 40-49 tahun. Sebagian besar bekerja salama 7 hari/minggu sedang lama kerja dalam sehari sebagaian besar kurang dari 6 jam/hari Sebagian besar responden menikah di usia muda dan mengalami kehamilan di usia muda. Sebagaian kecil responden belum mempunyai anak (keguguran dan belum pernah hamil) Sebagian besar responden tidak mengatur jumlah anak yang diinginkan dan sebagian besar mendapat menstrusi pertama yang terlambat. Belum adanya pelayanan kesehatan reproduksi sehat di tempat kerja kurangnya keserasian antara aktivitas kerja dan menjaga kondisi kesehatan reproduksi.
Disarankan perlunya upaya penyuluhan mengenai kesehatan reproduksi pada kelompok-kelompok tertentu yaitu wanita yang berkerja di sektor informal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar