pembagian hadits secara umum

PEMBAGIAN HADITS DITINJAU DARI JUMLAH PERAWINYA

PENDAHULUAN

 

Kita  semua  pasti sudah tahu  dan  faham  tentang  hadits,  bahkan kita  sepakat bahwa hadits adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur an. Akan tetapi berbeda  dengan  Al-Qur an  yang  dijamin  kemurniannya  oleh  Allah  SWT  (bersifat qaht i), kemurnian hadits bersifat lebih kepada dzanni.

Upaya untuk menjaga kemurnian dan eksistensi hadits, yaitu dengan cara para sahabat,  tabi in,  tabi it-tabi in  sampai  generasi  seterusnya  menghimpun  atau mengkodifikasikan  hadits.  Sejak  masa  pertama  hijrah,  sebenarnya  hadits  sudah dikodifikasi  oleh  personal-personal  Ahli  hadits,  tapi  pada  masa  ini  masih  terjadi perdebatan, bahkan Rasulullah dan Para Khulafaurrasidin melarangnya untuk menulis dan membukukan hadits, karena  dikhawatirkan akan tercampurnya antara  ayat-ayat Al-Qur  an  dan  Hadits  dan  akan  terlalaikannya  Al-Qur an  karena  pada  masa  ini sebagian besar para sahabat masih mengandalkan hafalannya.

Namun  sejalan  dengan  waktu  maka  haditspun  mulai  menyebar  ke  pelosok- pelosok  negeri  yang  mana  dalam  penyampaian  hadits  mengalami  perbedaan  yang mengakibatkan hadits menjadi bermacam-macam dan beraneka ragam (variatif).

Berdasarkan  realita  tersebut,  para  ulama  sepakat  untuk  mengumpulkan  dan membukukan  hadits  demi  menjaga  kemurnian  dan  keutuhan  hadits.  Pembukuan hadits  terlaksana  pada  masa  khalifah  Umar  ibn  Abdul  Aziz  yang  terkenal  Wara i.

Dimasa inilah merupakan awal pengkodifikasian hadits. Dalam proses pengumpulan dan pengkodifikasian hadits,  tentunya bukan hal yang mudah, banyak sekali kriteria dan klasifikasi yang diterapkan agar suatu khabar dapat  dikatakan  sebuah  hadits.  Dari  mulai  kualitas,  kuantitas  perawinya,  dan  lain sebagainya.

Dalam  makalah  ini,  akan  dibahas  secara  garis  besar  tentang  Pembagian Hadits Ditinjau Dari Jumlah Perawinya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, partisipasi saran dan kritik yang bersifat korektif dan  konstruktif  dari  par a  pembaca  yang  budiman  sangatlah  kami  harapkan  dalam rangka perbaikan makalah ini.

PEMBAHASAN

PEMBAGIAN HADITS DITINJAU DARI JUMLAH PERAWINYA

Ulama   berbeda  pendapat  tentang  pembagian  hadits  ditinjau  dari  jumlah perawinya.  Maksud  tinjuan dari  segi  jumlah  perawinya  disini  adalah  dengan menelusuri jumlah para perawi yang menjadi sumber adanya suatu hadits.

Para ahli  ada  yang  mengelompokkan  menjadi  tiga  bagian,  yakni  hadits mutawatir,  hadits  Masyhur,  dan  hadits  Ahad.  Ada  juga  yang  membaginya  hanya menjadi dua, yakni hadits Mutawatir dan Hadits Ahad.[1] Akan tetapi kebanyakan dari para ahli membedakan dan membaginya hanya menjadi dua  yakni hadits Mutawatir dan  hadits  Ahad.   Mereka beralasan bahwa  hadits masyhur merupakan  bagian dari hadits Ahad dan tidak berdiri sendiri.  Alasan ini diikuti oleh golongan ulama Ushul dan ulama Kalam. Dan sebagian lagi  beralasan bahwa hadits Masyhur adalah hadits yang berdiri sendiri  dan bukan termasuk bagian dari hadits Ahad.  Alasan ini diikuti oleh sebagian ulama Ushul, diantaranya adalah Abu Bakar Al-Jassas. Namun dalam makalah  ini  akan  dijelaskan  pembagian hadits  menjadi  dua  : Hadits Mutawatir  dan Hadits Ahad.

A.  HADITS MUTAWATIR

Sebelum  kita  bahas  hadits  Mutawatir  lebih  dalam,  sebaiknya  terlebih dahulu kita mengetahui apa itu hadits Mutawatir ?

Mutawatir menurut bahasa merupakan bentuk isim fa il, pecahan kata dari tawatara, yang  berarti tataba a  (berturut-turut),  atau muttabi  yakni  yang datang berikutnya  atau  beriring-iringan  yang  antara  satu  dengan  yang  lain  tidak  ada jaraknya.[2]  Sedangkan  pengertian  hadits  mutawatir  menurut  istilah,  terdapat beberapa definisi, antara lain sebagai berikut :

 

“Khabar yang didasarkan  panca indera  yang dikhabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat  mereka bersepakat  untuk mengkhabarkan berita itu dengan dusta.”[3]

Pendapat yang lain mengatakan :

“Hadits  yang  diriwayatkan  oleh  sejumlah  besar  orang  yang  menurut  adat mustahil  mereka  bersepakat  terlebih  dahulu  untuk  berdusta.  Sejak  awal  Sanad sampai akhir Sanad, pada setiap tingkat (Thobaqat ).”[4]

Secara  definisi  hadits  mutawatir  ialah  :  “Suatu  hadits  hasil  tanggapan dari  Panca  Indra,  yang  diriwayatkan  oleh  sejumlah  besar  rawi,  yang  menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta.”[5]

Secara  garis besar  jika  jumlah  para  sahabat  yang menjadi  rawi  pertama suatu  hadits  itu  banyak  sekali,  kemudian  rawi  dalam  generasi  tabi in  yang menerima  hadits  dari  rawi-rawi  generasi  pertama  (sahabat)  juga  banyak jumlahnya  dan  tabi in-tabi in  yang  menerimanya  dari  tabi in  pun  seimbang jumlahnya,  bahkan mungkin  lebih  banyak,  demikian  seterusnya  dalam  keadaan yang  sama  sampai  kepada  rawi-rawi   yang  mendewankan  hadits,  maka  hadits tersebut dinamakan Hadits Mutawatir.

Hukum Hadits Mutawatir :

Hadits  mutawatir  menunjukan  pada  pengetahuan  yang  sifatnya  pasti    (al-imu  ad-dlaruri),  yaitu  suatu  keharusan  untuk  menerimanya  secara  bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath I (pasti),  dengan  seyakin-yakinnya  bahwa  Nabi  Muhammad  SAW  benar –benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi

mutawatir.[6] Dengan  kata lain, wajib bagi setiap muslim untuk membenarkannya secara pasti, sama seperti ia menyaksikan sesuatu dengan mata kepalanya sendiri, sehingga bagaimana mungkin ia meragukan sesuatu yang telah dibenarkanya.

Syarat-syarat Hadits Mutawatir :

1.  Dasar  atau  sesuatu  yang  disampaikan  oleh  rawi-rawi  tersebut  harus berdasarkan panca indera. Artinya bahwa sesuatu yang mereka sampaikan itu harus  benar-benar  hasil  pendengaran  atau  penglihatannya  sendiri,  sehingga tidak boleh meriwayatkan sesuatu yang diluar inderawinya.

2.  Jumlah  rawi-rawinya  harus  mencapai  suatu  ketentuan  yang  tidak memungkinkan  mereka  bersepakat  bohong.  Para  ulama  berbeda  pendapat tentang batasan yang diperlukan untuk tidak bersepakat bohong.

·         Abu Thayyib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang

·         Ashhabu„sy-Syafi  i menentukan minimal 5 orang

·         Ulama yang lain menetapkan batas minimal 20 atau 40 orang.[7]

3.  Adanya  keseimbangan  jumlah  antara  rawi-rawi  dalam  Thabaqoh  (lapisan) pertama  dengan  Thabaqah  berikutnya.  Dengan  demikian,  bila  suatu  hadits diriwayatkan oleh dua puluh orang sahabat, kemudian diterima sepuluh tabi in dan selanjutnya  hanya  diterima  lima tabi in, maka  hadits  tersebut tidak  bisa digolongkan sebagai hadits mutawatir.

Pembagian Hadits Mutawatir :

a.  Mutawatir Lafdzi

“Hadits yang sama bunyi lafadz, hukum dan maknanya.”

Yang dimaksud hadits mutawatir lafdzi adalah : Hadits yang mutawatir lafadz dan maknanya. Dengan kata lain Hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang  susunan  redaksi  dan  maknanya sesuai/benar  antara  riwayat  yang  satu dengan yang lain. Contoh Hadits :

“Barang  siapa  yang  berdusta  atasku  dengan  sengaja,  maka  ia  telah menyiapkan tempatnya dari api neraka.” (HR. Bukhari Muslim)

Hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari 70 orang sahabat.[8]

b.  Mutawatir  Maknawi

“Hadits  yang  berlainan  bunyi  lafadz  dan  maknanya,  tetapi  dapat  diambil makna yang umum.”

Yang  dimaksud  dengan  hadits  mutawatir  maknawi  adalah hadits  mutawatir yang  rawi-rawinya  berlainan  dalam  menyusun  redaksi pemberitaan  tetapi berita yang berlainan-lainan susunan redaksinya itu terdapat persesuaian pada prinsipnya.[9]  Atau  dengan  kata  lain  hadits  yang  mutawatir  namun  dari  segi maknanya saja, dari segi lafadznya berbeda/berlainan.

Al-Suyuthi  mendefinisikan  sebagai  berikut  :  “Hadits  yang  dinukilkan  oleh sejumlah  orang  yang  menurut  adat  mustahil  mereka   sepakat berdusta  atas kejadian  yang  berbeda-beda  (secara  lafdziyah),  tetapi  bertemu  pada  titik persamaan (maknanya)” .

Contoh: Hadits tentang mengangkat kedua tangan ketika berdo a.

“Rasulullah  SAW  mengangkat  kedua  tangannya  dalam  berdo a  hingga tampak  putih  kedua  ketiaknya  selain  dalam  do a  shalat  Istisqa”.  (HR. Bukhari & Muslim)[10]

“Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”

Hadits-hadits yang menggambarkan keadaan Rasulullah SAW seperti ini ada sekitar  100  hadits.  Masing-masing  itu  menyebutkan  Rasulullah  SAW mengangkat  kedua  tangannya  ketika  berdo a,  meskipun  masing-masing (hadits)  terkait  dalam  hal  yang  berbeda-beda.  Masing-masing  hal  tersebut tidak  mutawatir. Penetapan  bahwa  mengangkat kedua  tangan  ketika  berdo a itu  termasuk  mutawatir  karena  pertimbangan  digabungkanya  berbagai  jalurhadits tersebut

c.  Mutawatir Amali

 “Sesuatu  diketahui  dengan  mudah  bahwa  dia  termasuk  urusan  agama  dan telah  mutawatir  di  kalangan  ummat  Islam,  bahwa  Nabi  SAW mengerjakannya, atau menyuruhnya, atau selain  dari itu. Dari hal itu dapat dikatakan soal yang telah disepakati.”[11]

Contoh  :  hadits-hadits  yang  menerangkan  waktu  dan  rakaat  shalat,  shalat jenazah, shalat „Ied, hijab  perempuan yang  bukan mahram, kadar zakat,  dan segala bentuk amaliyah yang telah menjadi kesepakatan, ijma .

B.  HADITS AHAD

Al-Ahad adalah bentuk jamak dari ahad, menurut bahasa berarti al-wahid atau  satu. Menurut istilah adalah khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai batasan  jumlah  perawi hadits  mutawatir,  baik perawi  itu  satu,  dua,  tiga,  empat, lima  dan  seterusnya  yang  tidak  memberikan  pengertian  bahwa  jumlah  perawi tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir “.

Sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits :

“Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.”

Ada pula yang mengartikan hadits ahad secara singkat, yakni hadits yang tidak  memenuhi  syarat-syarat  hadits  mutawatir,  hadits  yang  selain  hadits mutawatir, atau hadits yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian dzanni  dan tidak sampai kepada qath i dan yaqin.[12]

Hukum Hadits Ahad :

Para  ulama  sependapat  bahwa  hadits  ahad  tidak  Qath i,  sebagaimana hadits mutawatir. Hadits ahad hanya memfaedahkan  dzan, oleh karena itu masih perlu  diadakan  penyelidikan  sehingga  dapat  diketahui  maqbul  dan  mardudnya.

Dan  kalau  temyata  telah  diketahui  bahwa,  hadits  tersebut  tidak  tertolak  (dalam arti maqbul), maka mereka sepakat bahwa hadits tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadits mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadits, ialah memeriksa “Apakah hadits tersebut maqbul atau  mardud”.  Kalau  maqbul,  boleh  kita  berhujjah  dengannya.  Kalau  mardud, kita tidak dapat I tiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.[13]

Pembagian Hadits Ahad :

a.  Hadits Masyhur

Mashyur menurut bahasa, ialah al-Intisyar wal-dzuqa   : “sesuatu yang sudah terbesar  dan  popular”.  Masyhur  bisa  juga  diartikan  dengan  idzhar,  yaitu tampak / terlihat.

Sedangkan menurut istilah terdapat beberapa definisi, antara lain :

“Hadits  yang  diriwayatkan  oleh  tiga  orang  perawi  atau  lebih  pada  tiap tingkatan  perawinya  (thabaqah),  namun  tidak  sampai  pada  derajat mutawatir.”

Pendapat  lain  mengatakan  hadits  yang  diriwayatkan  dari  sahabat,  tetapi bilangannya  tidak  sampai  ukuran  bilangan  mutawatir,  kemudian  baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula setelah mereka.

Contoh hadits :

“Sesungguhnya  tiap-tiap  amal  itu  bergantung  pada  niatnya,  dan  tiap-tiap seseorang akan memperoleh apa yang ia niatkan”. (HR. Bukhari & Muslim)

Hadits ini pada  thabaqah pertama hanya  diriwayatkan  oleh sahabat  Umar bn Khattab,  pada thabaqah  kedua  hanya diriwayatkan  oleh Alqamah,  dan  pada  thabaqah ketiga diriwayatkan oleh orang banyak, antara lain : Abdul Wahab, Malik, Al-Laits, Hammad, dan Sufyan.[14]

Hadits  di  atas  biasa  disebut  hadits masyhur atau  disebut  hadits  gharib pada awalnya dan masyhur pada akhirnya.

Hukum Hadits Masyhur :

Masyhur  menurut  istilah  maupun  yang  tidak  termasuk  istilah  dapat diklaim sebagai hadits yang shahih, melainkan ada yang shahih, ada juga yang hasan,  dha if,  bahkan  yang  maudhu.  Menurut  istilah  hadits  yang  shahih memiliki kriteria lebih kuat dari hadits aziz dan hadits gharib.

Macam-Macam Hadits Masyhur

1)  Masyhur dikalangan ahli Hadits.

Contohnya adalah hadits dari Anas : “Bahwa Rasulullah SAW melakukan (do a)   qunut  selama  satu  bulan,  (dilakukan)  setelah  ruku,  dengan mendoakan (khabilah) Ri lin Dzakwan”.

2)  Masyhur dikalangan ulama ahli Hadits, ulama-ulama lain, dan dikalangan

orang  umum.  Contohnya  :  “Orang  muslim  itu  adalah  orang  yang menyelamatkan  muslim lainnya dari perkataan dan tangannya”.

3)  Masyhur dikalangan ahli Fiqih.

Contohnya : “Perkara halal yang di benci Allah SWT adalah talak”.

4)  Masyhur dikalangan ahli Ushul Fiqih.

Contohnya : “Diangkat dari umatku (dosa) atas kekeliruan, lupa, dan hal yang memaksa”.

5)  Masyhur dikalangan Ulama-ulama Arab.

Contohnya  :  “Sebaik-baik  hamba  adalah  Shuhaib,  seandainya  ia  tidak takut kepada Allah, maka ia tidak akan berbuat maksiat.”

6)  Masyhur dikalangan orang awam.

Contohnya : “Tergesa-gesa itu adalah perbuatan setan.”

b.  Hadits „Aziz

Dari segi bahasa, lafadz Aziz memiliki dua pengertian, yaitu :

 Berasal  dari  laf adz  „Azza-ya  „Izzu  yang  berarti   la yakadu  yujadu  atau qalla wa nadar (sedikit atau jarang adanya); dan Berasal dari lafadz azza ya „azzu yang berarti qawiya (kuat atau keras).

Sedangkan Aziz menurut istilah, adalah :

“Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang dari dua orang.” Jumhur  ulama  mengatakan  bahwasannya  Hadits  Aziz  adalah  hadits  yang perawinya  tidak  kurang  dari  dua  orang  dalam  semua  tingkatan  (Thabaqah) Sanadnya.[15]

Contoh hadits :

“Tidak sempurna iman salah satu diantara kalian, hingga ia menjadikan aku(Rasulullah  SAW)  lebih  dicintainya  daripada  ia  mencintai  dirinya  sendiri, orangtuanya, anaknya dan seluruh manusia”. (HR. Bukhari & Muslim)

Hadits ini diriwayatkan  oleh Anas  bin Malik  (thabaqah pertama). Dari  Anas diriwayatkan  kembali  oleh  Abdul  Aziz  bin  Suhaib  dan  Qatadah  (thabaqah kedua).  Kemudian  dari  Qatadah  diriwayatkan  oleh  Syu bah  dan  Sa id (thabaqah ketiga).

c.  Hadits Gharrib

Gharrib  menurut  bahasa  berarti  al-munfarid  (menyendiri)  atau  al-ba id  anaqaribihi (jauh dari kerabatnya).

“Hadits  yang  terdapat  penyendirian  rawi  dalam  sanadnya  dimana  saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.”

Ulama  ahli  hadits  mendefinisikan  hadits  gharib  adalah  Hadits  yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya.

Pendapat  lain mendefinisikan  hadits gharib  adalah hadits  yang diriwayatkan hanya  oleh  satu  orang  perawi  saja,  baik  pada  seluruh  maupun  salah  satu tingkatan perawinya (thabaqah).

Penyendirian rawi tersebut dapat terjadi dikarenakan :

   Mengenai  personalianya,  yakni  tidak  ada  orang  lain  yang  meriwayatkan hadits tersebut selain rawi itu sendiri.

   Mengenai  sifat  atau  keadaan  rawi,  artinya  sifat  atau  keadaan  rawi  itu berbeda dengan sifat dan keadaan rawi-rawi yang lain yang meriwayatkan hadits tersebut.

Pembagian Hadits Gharib :

a.  Gharib Mutlaq

Yaitu  hadits  yang  kegharibannya  (kesendirian  perawinya)  terjadi  pada tingkatan (thabaqah) yang paling tinggi, yaitu tingkatan sahabat. Contoh :

Artinya  :  “Kekerabatan  dengan  jalan  memerdekakan,  sama  dengan kekerabatan  dengan  nasab,  tidak  boleh  dijual  dan  tidak  boleh dihibahkan”.

Hadits ini diterima dari  Nabi oleh Ibnu Umar dan dari Ibnu Umar hanya Abdullah bin Dinar saja yang  meriwayatkanya.  Sedangkan  Abdullah  bin Dinar adalah seorang tabi in hafidz, kuat ingatannya dan dapat dipercaya.

b.  Gharib Nisbi

Yaitu  hadits  yang  kegharibannya  (kesendirian  perawinya)  terjadi  pada tingkatan (thabaqah) pertengahan sanadnya (tabi in atau tabi it tabi in) .

Contoh hadits :

“Rasulullah SAW pada Hari Raya Qurban dan Idul Fitri membaca surat Qaaf dan surat Al-Qamar”.(HR. Muslim)

Contoh dari hadis ghorib nisbi berkenaan dengan kota atau tempat tinggal tertentu :

Hadis  ini  diriwayatkan  oleh  Abu  Daud  dengan  sanad  Abu  Al-Walid, Hammam,  Qatadah, Abu  Nadrah  dan  Said.  Semua rawi  ini  berasal  dari kota Basrah dan tidak ada yang meriwayatkannya dari kota-kota lain.

 

KESIMPULAN

Dengan melihat dan mencermati uraian di atas pada makalah ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1.  Hadits  mutawatir  adalah  hadits  yang  diriwayatkan  oleh  sejumlah  besar  orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta.

2.  Hukum  Hadits  Mutawatir  menunjukan  pada  pengetahuan  yang  sifatnya  pasti, (suatu keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan).

3.  Syarat-syarat Hadits Mutawatir :

   Sesuatu yang disampaikan oleh perawi harus berdasarkan Panca Indera.  Jumlah  rawi-rawinya  harus  mencapai  suatu  ketentuan  yang  tidak memungkinkan mereka bersepakat bohong. Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam tiap thabaqoh.

4.  Pembagian Hadits Mutawatir :

a.  Mutawatir Lafdzi (mutawatir lafadz dan maknanya)

b.  Mutawatir  Maknawi (mutawatir dari segi maknanya, lafadznya berbeda)

c.  Mutawatir Amaly (diketahui dengan  mudah bahwa Nabi SAW mengerjakan, menyuruhnya, atau selain dari itu).

5.  Hadits ahad  adalah  hadits  yang  tidak  memenuhi  syarat-syarat  hadits mutawatir, hadits  yang  selain  hadits  mutawatir,  atau  hadits  yang  sanadnya  sah  dan bersambung  hingga  sampai  kepada  sumbernya  (nabi)  tetapi  kandungannya memberikan pengertian dzanni dan tidak sampai kepada qath i dan yaqin.

6.  Hukum Hadits Ahad tidak Qath i, sebagaimana qath inya hadits mutawatir.

7.  Pembagian Hadits Ahad :

a.  Hadits Masyhur (Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih pada tiap tingkatan perawinya, namun tidak sampai pada derajat mutawatir)

b.  Hadits  „Aziz  (Hadits  yang  perawinya  tidak  kurang  dari  dua  orang  dalam semua tingkatan Sanadnya)

c.  Hadits Gharrib (hadits yang diriwayatkan hanya oleh satu orang perawi saja, baik pada seluruh maupun salah satu tingkatan perawinya)

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca budiman. Amin…

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Ash  Shiddieqy,  T.M.  Hasbi,,  1988,  Sejarah  dan  Pengantar  Ilmu  Hadits, Jakarta : Bulan Bintang.

Mudasir, tt., Ilmu Hadits, Jakarta : Pustaka Setia.

Rohman, Fatchur, 1981, Ikhtisar Musthalahul Hadits, Bandung : Al-MA arif.

Soetari,  Endang,  2000,  Ilmu  Hadits,  Kajian  Riwayah  &  Dirayah,  Bandung  : Amal Bakti Press.

Suparta, Munzier, 2001, Ilmu Hadits, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

 



[1] Drs. Munzier Suparta.M.A, Ilmu Hadits, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001), hal.95

[2] Mudasir, Ilmu Hadits, (Jakarta : Pustaka Setia, tt), hal.113

[3] Prof. Dr. Endang Soetari Ad.,  M.Si.  Ilmu Hadits,  Kajian  Riwayah  &  Dirayah,  Bandung :

Amal Bakti Press, 2000. Hal. 91

[4] Drs. Munzier Suparta.M.A, Ilmu Ha dits, Ibid, hal 96

[5] Drs. Fatchur Rah man, Ikh tisar Mustalahul Hadits, Bandung : Al –  Ma arif, 1981 , hal. 59

[6] T.M. Hasbi Ash Shiddieq y, Sejarah Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta : Bulan Bintang,  1988,

hal. 201

[7] Drs. Fatchur Rah man, Ikh tisar Mustalahul Hadits, Ibid, hal, 60 – 61

[8] Ibid, hal, 63

[9] Ibid, hal, 64

[10] Prof. Dr. Endang Soetari Ad., M.Si. Ilmu Hadits… , Ibid. Hal. 93

[11] Ibid, hal. 93

[12] Drs. Munzier Suparta.MA, Ilmu Hadits, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 20 01, hal 108

[13] T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Had its, Ibid, hal.215

[14] Prof. Dr. Endang Soetari Ad., M.Si. Ilmu Hadits… , Ibid. Hal. 93

[15] Ibid, hal. 116


Tidak ada komentar:

Posting Komentar