Karya Tulis Ilmiah, Artikel, Makalah, Skripsi dan Tesis untuk Fakultas Kedokteran Fakultas Kedokteran Gigi Fakultas Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keperawatan Fakultas Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Teknik Fakultas kehutanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Fakultas pertanian, Fakultas peternakan, Fakultas Teknologi Pertanian Fakultas Ilmu Komputer dan teknologi informasi, Fakultas Tata Busana, Tata boga, bahasa, dan masih banyak lagi
Indonesia sebagai bangsa majemuk
SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA
Hukum Acara Pidana Militer
pembagian hadits secara umum
PEMBAGIAN HADITS DITINJAU DARI JUMLAH PERAWINYA
PENDAHULUAN
Kita semua pasti sudah tahu dan faham tentang hadits, bahkan kita sepakat bahwa hadits adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur an. Akan tetapi berbeda dengan Al-Qur an yang dijamin kemurniannya oleh Allah SWT (bersifat qaht i), kemurnian hadits bersifat lebih kepada dzanni.
Upaya untuk menjaga kemurnian dan eksistensi hadits, yaitu dengan cara para sahabat, tabi in, tabi it-tabi in sampai generasi seterusnya menghimpun atau mengkodifikasikan hadits. Sejak masa pertama hijrah, sebenarnya hadits sudah dikodifikasi oleh personal-personal Ahli hadits, tapi pada masa ini masih terjadi perdebatan, bahkan Rasulullah dan Para Khulafaurrasidin melarangnya untuk menulis dan membukukan hadits, karena dikhawatirkan akan tercampurnya antara ayat-ayat Al-Qur an dan Hadits dan akan terlalaikannya Al-Qur an karena pada masa ini sebagian besar para sahabat masih mengandalkan hafalannya.
Namun sejalan dengan waktu maka haditspun mulai menyebar ke pelosok- pelosok negeri yang mana dalam penyampaian hadits mengalami perbedaan yang mengakibatkan hadits menjadi bermacam-macam dan beraneka ragam (variatif).
Berdasarkan realita tersebut, para ulama sepakat untuk mengumpulkan dan membukukan hadits demi menjaga kemurnian dan keutuhan hadits. Pembukuan hadits terlaksana pada masa khalifah Umar ibn Abdul Aziz yang terkenal Wara i.
Dimasa inilah merupakan awal pengkodifikasian hadits. Dalam proses pengumpulan dan pengkodifikasian hadits, tentunya bukan hal yang mudah, banyak sekali kriteria dan klasifikasi yang diterapkan agar suatu khabar dapat dikatakan sebuah hadits. Dari mulai kualitas, kuantitas perawinya, dan lain sebagainya.
Dalam makalah ini, akan dibahas secara garis besar tentang Pembagian Hadits Ditinjau Dari Jumlah Perawinya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, partisipasi saran dan kritik yang bersifat korektif dan konstruktif dari par a pembaca yang budiman sangatlah kami harapkan dalam rangka perbaikan makalah ini.
PEMBAHASAN
PEMBAGIAN HADITS DITINJAU DARI JUMLAH PERAWINYA
Ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari jumlah perawinya. Maksud tinjuan dari segi jumlah perawinya disini adalah dengan menelusuri jumlah para perawi yang menjadi sumber adanya suatu hadits.
Para ahli ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, hadits Masyhur, dan hadits Ahad. Ada juga yang membaginya hanya menjadi dua, yakni hadits Mutawatir dan Hadits Ahad.[1] Akan tetapi kebanyakan dari para ahli membedakan dan membaginya hanya menjadi dua yakni hadits Mutawatir dan hadits Ahad. Mereka beralasan bahwa hadits masyhur merupakan bagian dari hadits Ahad dan tidak berdiri sendiri. Alasan ini diikuti oleh golongan ulama Ushul dan ulama Kalam. Dan sebagian lagi beralasan bahwa hadits Masyhur adalah hadits yang berdiri sendiri dan bukan termasuk bagian dari hadits Ahad. Alasan ini diikuti oleh sebagian ulama Ushul, diantaranya adalah Abu Bakar Al-Jassas. Namun dalam makalah ini akan dijelaskan pembagian hadits menjadi dua : Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad.
A. HADITS MUTAWATIR
Sebelum kita bahas hadits Mutawatir lebih dalam, sebaiknya terlebih dahulu kita mengetahui apa itu hadits Mutawatir ?
Mutawatir menurut bahasa merupakan bentuk isim fa il, pecahan kata dari tawatara, yang berarti tataba a (berturut-turut), atau muttabi yakni yang datang berikutnya atau beriring-iringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya.[2] Sedangkan pengertian hadits mutawatir menurut istilah, terdapat beberapa definisi, antara lain sebagai berikut :
“Khabar yang didasarkan panca indera yang dikhabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat mereka bersepakat untuk mengkhabarkan berita itu dengan dusta.”[3]
Pendapat yang lain mengatakan :
“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Sejak awal Sanad sampai akhir Sanad, pada setiap tingkat (Thobaqat ).”[4]
Secara definisi hadits mutawatir ialah : “Suatu hadits hasil tanggapan dari Panca Indra, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta.”[5]
Secara garis besar jika jumlah para sahabat yang menjadi rawi pertama suatu hadits itu banyak sekali, kemudian rawi dalam generasi tabi in yang menerima hadits dari rawi-rawi generasi pertama (sahabat) juga banyak jumlahnya dan tabi in-tabi in yang menerimanya dari tabi in pun seimbang jumlahnya, bahkan mungkin lebih banyak, demikian seterusnya dalam keadaan yang sama sampai kepada rawi-rawi yang mendewankan hadits, maka hadits tersebut dinamakan Hadits Mutawatir.
Hukum Hadits Mutawatir :
Hadits mutawatir menunjukan pada pengetahuan yang sifatnya pasti (al-imu ad-dlaruri), yaitu suatu keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath I (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar –benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi
mutawatir.[6] Dengan kata lain, wajib bagi setiap muslim untuk membenarkannya secara pasti, sama seperti ia menyaksikan sesuatu dengan mata kepalanya sendiri, sehingga bagaimana mungkin ia meragukan sesuatu yang telah dibenarkanya.
Syarat-syarat Hadits Mutawatir :
1. Dasar atau sesuatu yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan panca indera. Artinya bahwa sesuatu yang mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatannya sendiri, sehingga tidak boleh meriwayatkan sesuatu yang diluar inderawinya.
2. Jumlah rawi-rawinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat bohong. Para ulama berbeda pendapat tentang batasan yang diperlukan untuk tidak bersepakat bohong.
· Abu Thayyib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang
· Ashhabu„sy-Syafi i menentukan minimal 5 orang
· Ulama yang lain menetapkan batas minimal 20 atau 40 orang.[7]
3. Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam Thabaqoh (lapisan) pertama dengan Thabaqah berikutnya. Dengan demikian, bila suatu hadits diriwayatkan oleh dua puluh orang sahabat, kemudian diterima sepuluh tabi in dan selanjutnya hanya diterima lima tabi in, maka hadits tersebut tidak bisa digolongkan sebagai hadits mutawatir.
Pembagian Hadits Mutawatir :
a. Mutawatir Lafdzi
“Hadits yang sama bunyi lafadz, hukum dan maknanya.”
Yang dimaksud hadits mutawatir lafdzi adalah : Hadits yang mutawatir lafadz dan maknanya. Dengan kata lain Hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan maknanya sesuai/benar antara riwayat yang satu dengan yang lain. Contoh Hadits :
“Barang siapa yang berdusta atasku dengan sengaja, maka ia telah menyiapkan tempatnya dari api neraka.” (HR. Bukhari Muslim)
Hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari 70 orang sahabat.[8]
b. Mutawatir Maknawi
“Hadits yang berlainan bunyi lafadz dan maknanya, tetapi dapat diambil makna yang umum.”
Yang dimaksud dengan hadits mutawatir maknawi adalah hadits mutawatir yang rawi-rawinya berlainan dalam menyusun redaksi pemberitaan tetapi berita yang berlainan-lainan susunan redaksinya itu terdapat persesuaian pada prinsipnya.[9] Atau dengan kata lain hadits yang mutawatir namun dari segi maknanya saja, dari segi lafadznya berbeda/berlainan.
Al-Suyuthi mendefinisikan sebagai berikut : “Hadits yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil mereka sepakat berdusta atas kejadian yang berbeda-beda (secara lafdziyah), tetapi bertemu pada titik persamaan (maknanya)” .
Contoh: Hadits tentang mengangkat kedua tangan ketika berdo a.
“Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya dalam berdo a hingga tampak putih kedua ketiaknya selain dalam do a shalat Istisqa”. (HR. Bukhari & Muslim)[10]
“Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”
Hadits-hadits yang menggambarkan keadaan Rasulullah SAW seperti ini ada sekitar 100 hadits. Masing-masing itu menyebutkan Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya ketika berdo a, meskipun masing-masing (hadits) terkait dalam hal yang berbeda-beda. Masing-masing hal tersebut tidak mutawatir. Penetapan bahwa mengangkat kedua tangan ketika berdo a itu termasuk mutawatir karena pertimbangan digabungkanya berbagai jalurhadits tersebut
c. Mutawatir Amali
“Sesuatu diketahui dengan mudah bahwa dia termasuk urusan agama dan telah mutawatir di kalangan ummat Islam, bahwa Nabi SAW mengerjakannya, atau menyuruhnya, atau selain dari itu. Dari hal itu dapat dikatakan soal yang telah disepakati.”[11]
Contoh : hadits-hadits yang menerangkan waktu dan rakaat shalat, shalat jenazah, shalat „Ied, hijab perempuan yang bukan mahram, kadar zakat, dan segala bentuk amaliyah yang telah menjadi kesepakatan, ijma .
B. HADITS AHAD
Al-Ahad adalah bentuk jamak dari ahad, menurut bahasa berarti al-wahid atau satu. Menurut istilah adalah khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai batasan jumlah perawi hadits mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir “.
Sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits :
“Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.”
Ada pula yang mengartikan hadits ahad secara singkat, yakni hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir, hadits yang selain hadits mutawatir, atau hadits yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian dzanni dan tidak sampai kepada qath i dan yaqin.[12]
Hukum Hadits Ahad :
Para ulama sependapat bahwa hadits ahad tidak Qath i, sebagaimana hadits mutawatir. Hadits ahad hanya memfaedahkan dzan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya.
Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadits tersebut tidak tertolak (dalam arti maqbul), maka mereka sepakat bahwa hadits tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadits mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadits, ialah memeriksa “Apakah hadits tersebut maqbul atau mardud”. Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat I tiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.[13]
Pembagian Hadits Ahad :
a. Hadits Masyhur
Mashyur menurut bahasa, ialah al-Intisyar wal-dzuqa : “sesuatu yang sudah terbesar dan popular”. Masyhur bisa juga diartikan dengan idzhar, yaitu tampak / terlihat.
Sedangkan menurut istilah terdapat beberapa definisi, antara lain :
“Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih pada tiap tingkatan perawinya (thabaqah), namun tidak sampai pada derajat mutawatir.”
Pendapat lain mengatakan hadits yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran bilangan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula setelah mereka.
Contoh hadits :
“Sesungguhnya tiap-tiap amal itu bergantung pada niatnya, dan tiap-tiap seseorang akan memperoleh apa yang ia niatkan”. (HR. Bukhari & Muslim)
Hadits ini pada thabaqah pertama hanya diriwayatkan oleh sahabat Umar bn Khattab, pada thabaqah kedua hanya diriwayatkan oleh Alqamah, dan pada thabaqah ketiga diriwayatkan oleh orang banyak, antara lain : Abdul Wahab, Malik, Al-Laits, Hammad, dan Sufyan.[14]
Hadits di atas biasa disebut hadits masyhur atau disebut hadits gharib pada awalnya dan masyhur pada akhirnya.
Hukum Hadits Masyhur :
Masyhur menurut istilah maupun yang tidak termasuk istilah dapat diklaim sebagai hadits yang shahih, melainkan ada yang shahih, ada juga yang hasan, dha if, bahkan yang maudhu. Menurut istilah hadits yang shahih memiliki kriteria lebih kuat dari hadits aziz dan hadits gharib.
Macam-Macam Hadits Masyhur
1) Masyhur dikalangan ahli Hadits.
Contohnya adalah hadits dari Anas : “Bahwa Rasulullah SAW melakukan (do a) qunut selama satu bulan, (dilakukan) setelah ruku, dengan mendoakan (khabilah) Ri lin Dzakwan”.
2) Masyhur dikalangan ulama ahli Hadits, ulama-ulama lain, dan dikalangan
orang umum. Contohnya : “Orang muslim itu adalah orang yang menyelamatkan muslim lainnya dari perkataan dan tangannya”.
3) Masyhur dikalangan ahli Fiqih.
Contohnya : “Perkara halal yang di benci Allah SWT adalah talak”.
4) Masyhur dikalangan ahli Ushul Fiqih.
Contohnya : “Diangkat dari umatku (dosa) atas kekeliruan, lupa, dan hal yang memaksa”.
5) Masyhur dikalangan Ulama-ulama Arab.
Contohnya : “Sebaik-baik hamba adalah Shuhaib, seandainya ia tidak takut kepada Allah, maka ia tidak akan berbuat maksiat.”
6) Masyhur dikalangan orang awam.
Contohnya : “Tergesa-gesa itu adalah perbuatan setan.”
b. Hadits „Aziz
Dari segi bahasa, lafadz Aziz memiliki dua pengertian, yaitu :
Berasal dari laf adz „Azza-ya „Izzu yang berarti la yakadu yujadu atau qalla wa nadar (sedikit atau jarang adanya); dan Berasal dari lafadz azza ya „azzu yang berarti qawiya (kuat atau keras).
Sedangkan Aziz menurut istilah, adalah :
“Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang dari dua orang.” Jumhur ulama mengatakan bahwasannya Hadits Aziz adalah hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tingkatan (Thabaqah) Sanadnya.[15]
Contoh hadits :
“Tidak sempurna iman salah satu diantara kalian, hingga ia menjadikan aku(Rasulullah SAW) lebih dicintainya daripada ia mencintai dirinya sendiri, orangtuanya, anaknya dan seluruh manusia”. (HR. Bukhari & Muslim)
Hadits ini diriwayatkan oleh Anas bin Malik (thabaqah pertama). Dari Anas diriwayatkan kembali oleh Abdul Aziz bin Suhaib dan Qatadah (thabaqah kedua). Kemudian dari Qatadah diriwayatkan oleh Syu bah dan Sa id (thabaqah ketiga).
c. Hadits Gharrib
Gharrib menurut bahasa berarti al-munfarid (menyendiri) atau al-ba id anaqaribihi (jauh dari kerabatnya).
“Hadits yang terdapat penyendirian rawi dalam sanadnya dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.”
Ulama ahli hadits mendefinisikan hadits gharib adalah Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya.
Pendapat lain mendefinisikan hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan hanya oleh satu orang perawi saja, baik pada seluruh maupun salah satu tingkatan perawinya (thabaqah).
Penyendirian rawi tersebut dapat terjadi dikarenakan :
Mengenai personalianya, yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan hadits tersebut selain rawi itu sendiri.
Mengenai sifat atau keadaan rawi, artinya sifat atau keadaan rawi itu berbeda dengan sifat dan keadaan rawi-rawi yang lain yang meriwayatkan hadits tersebut.
Pembagian Hadits Gharib :
a. Gharib Mutlaq
Yaitu hadits yang kegharibannya (kesendirian perawinya) terjadi pada tingkatan (thabaqah) yang paling tinggi, yaitu tingkatan sahabat. Contoh :
Artinya : “Kekerabatan dengan jalan memerdekakan, sama dengan kekerabatan dengan nasab, tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan”.
Hadits ini diterima dari Nabi oleh Ibnu Umar dan dari Ibnu Umar hanya Abdullah bin Dinar saja yang meriwayatkanya. Sedangkan Abdullah bin Dinar adalah seorang tabi in hafidz, kuat ingatannya dan dapat dipercaya.
b. Gharib Nisbi
Yaitu hadits yang kegharibannya (kesendirian perawinya) terjadi pada tingkatan (thabaqah) pertengahan sanadnya (tabi in atau tabi it tabi in) .
Contoh hadits :
“Rasulullah SAW pada Hari Raya Qurban dan Idul Fitri membaca surat Qaaf dan surat Al-Qamar”.(HR. Muslim)
Contoh dari hadis ghorib nisbi berkenaan dengan kota atau tempat tinggal tertentu :
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad Abu Al-Walid, Hammam, Qatadah, Abu Nadrah dan Said. Semua rawi ini berasal dari kota Basrah dan tidak ada yang meriwayatkannya dari kota-kota lain.
KESIMPULAN
Dengan melihat dan mencermati uraian di atas pada makalah ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta.
2. Hukum Hadits Mutawatir menunjukan pada pengetahuan yang sifatnya pasti, (suatu keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan).
3. Syarat-syarat Hadits Mutawatir :
Sesuatu yang disampaikan oleh perawi harus berdasarkan Panca Indera. Jumlah rawi-rawinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat bohong. Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam tiap thabaqoh.
4. Pembagian Hadits Mutawatir :
a. Mutawatir Lafdzi (mutawatir lafadz dan maknanya)
b. Mutawatir Maknawi (mutawatir dari segi maknanya, lafadznya berbeda)
c. Mutawatir Amaly (diketahui dengan mudah bahwa Nabi SAW mengerjakan, menyuruhnya, atau selain dari itu).
5. Hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir, hadits yang selain hadits mutawatir, atau hadits yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian dzanni dan tidak sampai kepada qath i dan yaqin.
6. Hukum Hadits Ahad tidak Qath i, sebagaimana qath inya hadits mutawatir.
7. Pembagian Hadits Ahad :
a. Hadits Masyhur (Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih pada tiap tingkatan perawinya, namun tidak sampai pada derajat mutawatir)
b. Hadits „Aziz (Hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tingkatan Sanadnya)
c. Hadits Gharrib (hadits yang diriwayatkan hanya oleh satu orang perawi saja, baik pada seluruh maupun salah satu tingkatan perawinya)
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca budiman. Amin…
DAFTAR PUSTAKA
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi,, 1988, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta : Bulan Bintang.
Mudasir, tt., Ilmu Hadits, Jakarta : Pustaka Setia.
Rohman, Fatchur, 1981, Ikhtisar Musthalahul Hadits, Bandung : Al-MA arif.
Soetari, Endang, 2000, Ilmu Hadits, Kajian Riwayah & Dirayah, Bandung : Amal Bakti Press.
Suparta, Munzier, 2001, Ilmu Hadits, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
[1] Drs. Munzier Suparta.M.A, Ilmu Hadits, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001), hal.95
[2] Mudasir, Ilmu Hadits, (Jakarta : Pustaka Setia, tt), hal.113
[3] Prof. Dr. Endang Soetari Ad., M.Si. Ilmu Hadits, Kajian Riwayah & Dirayah, Bandung :
Amal Bakti Press, 2000. Hal. 91
[4] Drs. Munzier Suparta.M.A, Ilmu Ha dits, Ibid, hal 96
[5] Drs. Fatchur Rah man, Ikh tisar Mustalahul Hadits, Bandung : Al – Ma arif, 1981 , hal. 59
[6] T.M. Hasbi Ash Shiddieq y, Sejarah Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta : Bulan Bintang, 1988,
hal. 201
[7] Drs. Fatchur Rah man, Ikh tisar Mustalahul Hadits, Ibid, hal, 60 – 61
[8] Ibid, hal, 63
[9] Ibid, hal, 64
[10] Prof. Dr. Endang Soetari Ad., M.Si. Ilmu Hadits… , Ibid. Hal. 93
[11] Ibid, hal. 93
[12] Drs. Munzier Suparta.MA, Ilmu Hadits, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 20 01, hal 108
[13] T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Had its, Ibid, hal.215
[14] Prof. Dr. Endang Soetari Ad., M.Si. Ilmu Hadits… , Ibid. Hal. 93
[15] Ibid, hal. 116