Filsafat politik adalah suatu pendekatan ilmu politik yang relatif abstrak sebab berbicara pada dataran filosofis kegiatan politik. Pendekatan ini mengkaji mengapa suatu negara terbentuk, apa tujuan negara, siapa yang layak memerintah, di mana posisi ideal penguasa dengan yang dikuasai, juga menyinggung masalah moral politik. Dalam pendekatan filsafat politik dikenal empat tradisi besar yaitu tradisi klasik, pertengahan, pencerahan, dan radikal.
1. Tradisi Klasik Masa Plato
Plato hidup pada masa ketika negara-kota Athena menjadi rebutan dari orang-orang yang tidak memenuhi syarat untuk memimpin. Plato mempromosikan filsafat politiknya demi memberi arahan yang benar seputar bagaimana menyeenggarakan kehidupan bernegara.
Bagi Plato, kehidupan negara yang sempurna akan tercapai jika prinsip-prinsip keadilan ditegakkan. Keadilan —menurut Plato— adalah tatanan keseluruhan masyarakat yang selaras dan seimbang. Masyarakat yang adil adalah masyarakat yang dipersatukan oleh tatanan yang harmonis, di mana masig-masing anggota memperoleh kedudukan sesuai dengan kodrat dan tingkat pendidikan mereka.
Negara, bagi Plato, terdiri atas tiga golongan besar, yaitu:
• para penjamin makanan (pekerja)
• para penjaga
• para pemimpin.
Para pekerja terdiri atas mereka yang bekerja agar barang-barang kebutuhan manusia dapat tersedia: para petani, tukang, pedagang, buruh, pengemudi kereta, dan pelaut. Karena mereka hanya memahami kepentingan mereka sendiri, mereka harus harus diatur agar hidupnya selaras dengan kepentingan umum oleh para penjaga.
Golongan kedua (para penjaga) mengabdikan seluruh hidupnya demi kepentingan umum. Untuk itu, golongan penjaga dilarang untuk memuaskan kepentingan pribadi masing-masing. Mereka dilarang berkeluarga, wanita dan anak dimiliki bersama, tidak boleh punya milik pribadi, serta hidup, makan serta tidur bersama-sama. Golongan penjaga ‘disapih’ sejak umur 2 tahun, diberi pendidikan yang materinya mengarah pada tertib dan kebijaksanaan seperti filsafat, gimnastik, dan musik.
Golongan ketiga (para pemimpin) dipilih di antara para penjaga, khususnya mereka yag paling memahami filsafat (ahlinya: filosof). Dengan demikian, seorang penguasa bagi Plato harus seorang filosof-raja. Dengan menguasai filsafat, seorang raja akan mampu memahami melihat hakikat-hakikat rohani di belakang bayang-bayang inderawi yang selalu berubah-ubah ini. Hal ini mungkin dilakukan oleh sebab filsuf-raja telah melepaskan diri dari ikatan-ikat nafsu dan indera serta bebas dari pamrih. Sebab itu dapat dikatakan ahwa sumber kekuasaan adalah PENGETAHUAN yang dicapai melalui pendidikan.
Pemikiran Plato mengenai politik dapat dilihat pada skema berikut
Keterangan :
Penguasa menggunakan kekuasaan untuk mencapai kepentingan umum sebagai hasil dari kecerdasan mereka. Kepentingan umum sebaliknya, merupakan pemenuhan setiap potensi-pontesi yang ada pada diri individu. Otoritas akan dijalankan oleh filosof-raja yang memerintah untuk menegakkan keadilan. Keadilan diberikan kepada rakyat untuk diselenggarakan pada pemenuhan potensi-potensi yang dicapai melalui pekerjaan. Pekerjaan akhirnya akan menghasilkan sumber-sumber yang perlu untuk otoritas.
2. Tradisi Klasik Masa Aristoteles
Aristoteles (384-322 sM) mempersamakan tujuan negara dengan tujuan manusia: Menciptakan kebahagiaan (Eudaimonia). Manusia adalah makhluk sosial sekaligus zoon politikon (makhluk politik), sebab manusia tidak dapat berbuat banyak demi mencapai kebahagiaan tanpa bantuan orang lain. Sebab itu, manusia harus mau berinteraksi di dalam negara (berinteraksi dengan orang lain) demi mencapai kebahagiaan hidup sendiri dan bersama.
Dengan demikian, tugas negara bagi Aristoteles pun jelas: Mengusahakan kebahagiaan hidup warganegaranya. Aristoteles menentang gagasan Plato untuk menyerahkan kekuasaan negara hanya kepada filosof-raja yang tanpa konstitusi. Sebaliknya, Aristoteles menyarankan pembetukan suatu negara bernama POLITEIA (negara yang berkonstitusi). Pemimpin negara adalah orang yang ahli dan teruji kepemimpinannya secara praktis, bukan filsuf yang hanay duduk di ‘menara gading.’ Sumber kekuasaan dalam Politeia adalah hukum.
Bagi Aristoteles, kekuasaan suatu negara harus berada di tangan banyak orang agar suatu keputusan tidak dibuat secara pribadi melainkan kolektif. Namun, kekuasaan tersebut jangan berada di tangan golongan miskin atau kaya, melainkan golongan menengah.
Artinya, bentuk kekuasaanya berada di tengah-tengah antara oligarki dengan demokrasi. Satu hal penting lain, seluruh penguasa harus takluk kepada hukum. Bagi Aristoteles pun, negara sama seperti organisme: Ia mampu berkembang dan mati.
Secara sederhana, pemikiran Aristoteles mengenai politik dapat dilihat pada skema berikut ini
Aristoteles menekankan pentingnya konstitusi campuran yang merupakan aturan dasar kehidupan bernegara. Kontitusi ini harus menunjuk kebahagiaan setiap individu sebagai hal ideal yang harus dicapai suatu negara. Kebahagiaan secara praktis diturunkan ke dalam bentuk kebijaksanaan-kebijaksanaan praktis. Setiap kebijaksanaan menghasilkan pilihan-pilihan baru bagi para warganegara yang nantinya diwujudkan ke dalam bentuk konstitusi campuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar