Keanekaragaman Kultur bangsa indonesia

Masyarkat majemuk terbentuk dari dipersatukan masyarakt-masyarakat suku bangsa oleh system nasional yang biasanya dilakukan secara paksa (by force) menjadi sebuah bangsa dalam wadah Negara. Dalam masyarakat majemuk manapun, mereka yang tergolong. 
Indonesia ditinjau dari aspek manapun merupakan sebuah bangsa yang majemuk. Ini terlebih jika dikontraskan dengan bangsa-bangsa lain seperti jepang, korea, Thailan, ataupun Anglo Saxon (Inggris).  Kemajemukan ini tampak dalam manifestasi kebudayaan bangsa Indonesia yang tidak ‘satu”. Budaya Indonesia dapat dengan mudah dipecah ke dalam budaya jawa, Sunda, Batak, Minangkaau, atau pun toraja. 
Kemajemukan juga termanifestasi dalam masalah agama, lokasi domestic, tingkat ekonomi, ataupun perbedaan-perbedaan sikap politik. Sikap politik, secara khusus, paling mudah menampakkan diri ke dalam bentuk partai-partai politik yang bervariasi dan hidup berkembang di bumi Indonesia. 
Keanekaragaman Kultur Indonesia 
Yaitu mengkaji mengenai masyarakat majemuk ini signifikan terutama didalam masyarakat yang memang terdiri atas aneka pelapisan sosial dan budaya yang satu sama lain saling berbeda. Maka dari itu Indonesia mengembangkan slogan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu). Slogan ini bersifat filosofis- politis. Oleh sebab itu tanpa adanya unsur pemersatu, akan mudah kiranya memecah belah kohesi untuk masyarakat yang mendalami sekujur kepulauan nusantara ini. 
Mengenai keanekaragaman kultur ini, Bhikhu Parekh membedakannya menjadi 3 yaitu :
1.    Keanekaragaman Subkultural adalah sutu kondisi dimana para anggota masyarakat memiliki satu kebudayaan umum yang luas dianut. 
2.    Keanekaragaman Perspektif adalah suatu kondisi dimana beberapa anggota masyatakat sangat krisis terhadap beberapa prinsip atau nilai-nilai sentral kebudayaan yang berlaku dan berusaha untuk menyatakannya kembali disempanjang garis kelompok yang sesuai.
3.    Keanekaragaman Manual adalah suatu kondisi sebagian besar masyarakat yang mencakup beberapa komunitas yang sadar diri dan terorganisasi dengan baik.
J.S. Furnivall termasuk orang yang pertama kali menyebut Indonesia selaku bangsa majemuk. Masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat di mana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedfemikian rupa, sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.4 
Ciri dari masyarakat majemuk adalah secara structural memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat diverse. Ia kurang mengalami perkembangan dalam hal sistem nilai atau consensus yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat. Kurang pula ditandai oleh berkembangnya sistem nilai dari kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya dengan penganutan para anggotanya masing-masing secara tegar dalam bentuknya yang relatif murni serta oleh sering timbulnya konflik-konflik sosial, atau  setidak-tidaknya oleh kurangnya integrasi dan saling ketergantungan di antara kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya.
Bagi seorang ahli Indonesia lain, Clifford Geerts, masyarakat majemuk adalah masrakat yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub system yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dalam mana masing-masing subsistem terikat ke dalam ikatan-ikatan yang bersifat primodial. 



Hal yang menarik kemudian dinyatakan Pierre L. van den Bergehe seputar ciri dasar dari masyarakat majemuk ini, yaitu :

1.    Terjadinya segmentasi dalam bentuk kelompok-kelompok seringkali memiliki subkebudaya yang berbeda satu sama lain. 
2.    Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer. 
3.    Kurang mengembangkan konsensus di antara anggotanya terhadap nilai-nilai  yang bersifat dasar. 
4.    Secara relative seringkalo mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. 
5.    Secara relatif integrasi social tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomim, serta 
6.    Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain. 

Masyarakat majemuk biasanya tersegmentasi ke dalam kelompok yang punya subkebudayaan yang saling berbeda. Ini mirip seperti yang diutarakan Bhikhu Parekh tentang Keanekaragaman Subkultur, Keanekararagaman Perspektif, dan Keanekaragaman Komunal. Misalkan saja, kultur-kultur masyarakat pesisir pantai Indonesia yang terbuka relative berbeda dengan kultur-kultur masyarakat pedalaman (pegunungan). Ini belum lagi ditambah dengan kultur-kultur etnis (Sunda, Batak, Jawa, Makassar) yang  memiliki “way of life” spesifik yang berbeda satu dengan lainnya. Sebab itu, konflik-konflik etnis seperti antara Dayak-Melayu-Madura di Kalimantang mudah sekali terpantik.
Tidak hanya Indonesia, Negara-negara lain pun turut “menderita” akibat masalah kemajemukan ini. Srilanka hingga kini didera pertikaian etnis Sinhala dan Tamil, dua suku bangsa besar di Negara tersebut. Spanyol, Negara Eropa, secara laten rentan dilanda pertikaian etnis Catalan dan Basque. Filipina mengalami potensi disintegrasi akibat perbedaan agama, misalnya kasus wilayah Moro yang dihuni penduduk Islam. Sama dengan Filipina, Thailand pun wilayah Pattani yang dihuni penduduk Islam hendak memisahkan diri. 
Untuk mengatasi kemajemukan Indonesia ini, secara historis founding fathers merumuskan Pancasila. Lima kalimat singkat dalam Pancasila digunakan sebagai basis consensus yang diyakini merupakan common will dari subkultur-subkultur yang hidup di masyarakat majemuk Indonesia. Sulit dibayangkan jika consensus dasar (Pancasila) ini kemudian berubah.
Nasikun menandaskan keragaman ini kemudian mengimbas pada aspek-aspek kehidupan lainnya. Dengan mengkontraskan antara apa yang ia sebut sebagai “masyarakat majemuk” (plural society) dengan “masyarakat homogen” (homogeneus society), Nasikun mengetengahkan beberapa konflik yang muncul akibat ketiadaan “common will” (kehendak bersama). Pada masyarakat homogeny, common will relative ada. Ini akibat serupanya asal usul etnis, agama, dan tata adat istiadat. Sementara pada masyarakat plural, common will menjadi suatu yang jarang akibat adanya perbedaan asal usul etnis, agama, dan tata adat istiadat (budaya).

No     Ethnic Group     Number    Percentage
1.    Javanese     83,865,724    41.71
2.    Sundanese     30,978,404    15.41
3.    Malay     6,946,040      3.45
4.    Madurese     6,771,727      3.37
5.    Batak    6,076,440      3.02
6.    Minangkabau     5,475,145      2.72
7.    Betawi     5,041,688      2.51
8.    Buginese     5,010,421      2.49
9.    Bantenese     4,113,162      2.05
10.    Banjarese     3,496,273     1.74
11.    Balinese     3,027,525     1.51
12.    Sasak     2,611,059     1.30
13.    Makassarese     1,982,187     0.99
14.    Cirebon     1,890,102     0.94
15.    Chinese     1,738,936     0.86
16.    Gorontalo/Hulandalo     974,175     0.48
17.    Acehnese     871,944     0.43
18.    Toraja     750,828     0.37
19.    Nias, kono niha     731,620     0.36
20.    Minahasa     659,209     0.33
21.    Boton, butung, Butong     578,231     0.29
22.    Atoni Metto    568,445     0.28
23.    Manggarai     566,428     0.28
24.    Bima     513,055     0.26
25.    Mandar     504,827     0.25
26.    Sumba, humba, Tau Humba     501,345     0.25
27.    Sambas     444,929     0.22
28.    Peminggir     426,723     0.21

Tabel di atas hanya menunjukkan 102 etnis saja. Padahal, menurut BPS, total etnis dan subetnis yang tersebar di Indonesia adalah 1.072. Dapat dibayangkan betapa bervariasinya budaya dan seberapa tinggi tingkat kemajemukan di Indonesia. 
Delapan etnis “besar” dalam populasi penduduk Indonesia adalah Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau, Betawi, Bugis, Banten, dan Banjar. Ini dengan memperhatikan ketersebaran etnis-etnis tersebut di wilayah provinsi Indonesia.
Selain itu, faktor yang turut menentukan besaran komposisi etnis di Indonesia adalah natalitasnya. Tidak seluruh etnis memiliki perkembangan tingkat kelahiran yang sama, seperti tampak pada table di bawah ini yang melukiskan tingkat pertambahan penduduk menurut etnis dari tahun 1930 hingga 2000:

Kelompok Etnis    Tingkat Natalitas
Indonesia keseluruhan     1.78
Melayu     2.84
Betawi     2.34
Batak     2.31
Sunda (termasuk Banten)     2.01
Banjar     1.94
Sunda (tidak termasuk Banten)     1.83
Bugis     1.69
Jawa     1.58
Minangkabau     1.45
Bali     1.43
Madura     0.65


Untuk lebih menjelaskan seputar kemajemukan Indonesia ini, ada baiknya dihaturkan table komposisi penduduk berdasarkan provinsi Indonesia sebagai berikut :7

No     PROVINSI     JUMLAH    PERSENTASE 
1.    Nanggroe Aceh Darussalam     3.929.234    1.91
2.    Sumatera Utara     11.642.490    5.66
3.    Sumatera Barat     4.241.605    2.06
4.    Riau     4.947.971    2.40
5.    Jambi     2.407.166    1.17
6.    Sumatera Selatan     6.899.057    3.35
7.    Bengkulu     1.563.804    0.76
8.    Lampung     6.730.751    3.27
9.    Bangka Belitung     899.968    0.44
10.    Jakarta     8.361.079    4.06
11.    Jawa Barat     35.724.092    17.36
12.    Jawa Tengah     31.223.259    15.17
13.    Yogyakarta     3.121.045    1.52
14.    Jawa Timur    34.765.998    16.80
15.    Banten     8.098.277    3.93
16.    Bali     3.150.058    1.53
17.    Nusa Tenggara Barat     4.008.601    1.95
18.    Nusa Tenggaea     3.823.154    1.86
19.    Kalimantan Barat     4.016.353    1.95
20.    Kalimantan Tengah     1.855.474    0.90
21.    Kalimantan Selatan     2.984.024    1.45
22.    Kalimantan Timur     2.451.895    1.19
23.    Sulawesi Utara     2.000.871    0.97
24.    Sulawesi Tengah     2.175.993    1.06
25.    Sulawesi Selatan     8.050.786    3.91
26.    Sulawesi Tenggara     1.820.378    0.88
27.    Gorontalo     833.495    0.40
28.    Maluku     1.163.122    0.57
29.    Papua     2.213.831    1.08
30    Maluku Utara     732.453    0.36
    TOTAL     205.843.196    100.00

Data yang digunakan adalah hasil sensus tahun 2000. Dapat dilihat persentase terbesar orang Indonesia tinggal di Provinsi Jawa Barat dengan 17,36% (35.724.092), disusul Jawa Timur dengan 16,89% (34.765.998), kemudian Jawa Tengah dengan 15.17% (31.223.259). Sementara, provinsi terjarang penduduknya adalah Maluku Utara dengan 0,36% (732.453).
Namun, komposisi di atas hanya merujuk pada wilayah domisili, bukan berdasar etnisitas. Studi yang dilakukan oleh Leo Suryadinata, Evi Nurvidya Arifin dan Aris Ananta menunjukkan populasi penduduk Indonesia berdasarkan 101 etnis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar