Hukum Acara Tata Usaha Negara

A. Karakteristik dan Prinsip-Prinsip Peradilan Tata Usaha Negara

Ciri khas hukum acara peradilan tata usaha negara terletak pada asas-asas hukum yang melandasinya, yaitu:

a) asas praduga rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid = praesumptio iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechtmatig sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat (ps. 67 ayat 1 UU no. 5 th. 1986);

b) asas pembuktian bebas. Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan ps. 1856 BW. Asas ini dianut pasal 107 UU no. 5 th. 1986 hanya saja masih dibatasi ketentuan pasal 100;

c) asas keaktifan hakim (dominus litis). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena tegugat adalah pejabat tata usaha negara sedangkan penggugat adalah orang atau badan hukum perdata. Penerapan asas ini antara lain terdapat dalam ketentuan pasal: 58, 63 ayat 1, 2, 80, 85;

d) asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga omnes”. Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan TUN berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa. Dalam rangka ini kiranya ketentuan pasal 83 tentang intervensi bertentangan dengan asas “erga omnes”.

            Peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya menegakkan hukum publik, yaitu hukum administrasi sebagaimana ditegakkan dalam UU PTUN Pasal 47 bahwa sengketa yang termasuk lingkup kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara adalan sengketa tata usaha negara. Hal ini ditegaskan lagi dalam rumusan tentang keputusan tata usaha negara (Pasal 1 angka 3) yang mengisyaratkan juga tindakan hukum tata usaha untuk adanya keputusan tata usaha negara.

          Juga perlu diperhatikan bahwa kehadiran Peradilan Tata Usaha Negara melalui UU No. 5 Tahun 1986 tidak hanya melindungi hak individu tetapi juga melindungi hak masyarakat. Untuk itu disamping melindungi hak individu sebagian besar UU No. 5 Tahun 1986 melindungi hak-hak masyarakat. Pasal-pasal yang langsung menyangkut perlindungan hak-hak masyarakat adalah: Pasal 49, Pasal 55, Pasal 67.

B. Organisasi Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)

            Dalam kaitannya dengan organisasi, ada baiknya kita tinjau struktur PTUN itu sendiri secara sepintas. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1986, pengadilan tata usaha negara terdiri atas:

-          pengadilan tata usaha negara (PTUN) sebagai pengadilan tingkat pertama

-          pengadilan tinggi tata usaha negara (PT TUN)

Pengadilan tata usaha negara dibentuk dengan keputusan Presiden (Pasal 9 UU No. 5 Tahun 1986, sedangkan pengadilan tinggi tata usaha negara dibentuk dengan undang-undang.

            Sejalan dengan ketentuan Pasal 10 ayat 2 UU No. 14 Tahun 1970, kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan Tata Usaha Negara berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Dengan demikian keempat lingkungan peradilan kita berpuncak pada Mahkamah Agung (sistem piramide).

 

C. Upaya Administratif

            Tidak setiap keputusan tata usaha negara (KTUN) dapat langsung digugat melalui peradilan tata usaha negara. Terhadap KTUN yang mengenal adanya upaya administratif disyaratkan untuk menggunakan saluran peradilan tata usaha negara. Tentang hal ini, Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 menyatakan:

a)      dalam hal suatu badan atau pejabat tata usaha negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha negara tertentu, maka sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia

b)      pengadilan baru berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan

Ada dua upaya administratif, yaitu

Dalam hal penyelesaiannya dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain, maka prosedur itu disebut “banding administratif”

- Dalam hal penyelesaiannya dilakukan oleh instansi yang sama, yaitu badan atau pejabat tata usaha negara yang mengelurkan KTUN, maka prosedur yang ditempuh disebut “keberatan”

 

D. Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara

            Pasal 47 UU No.5 Tahun 1986 menyebutkan: pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Apakah sengketa tata usaha negara? Pasal 1 angka 4 UU No.5 Tahun 1986 merumusakan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara,  baik dipusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

            Dengan demikian KTUN merupakan dasar lahirnya sengketa tata usaha negara. Apakah KTUN itu? Pasal 1 angka 3 merumuskan KTUN, adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

            Tindakan hukum tata usaha negara tidaklah sama maknanya dengan tindakan pejabat atau tindakan badan tata usaha negara. Tidak setiap tindakan pejabat adalah tindakan hukum tata usaha negara.

Untuk itu disajikan skema tentang tindak pemerintahan (bestuurschandeling) sebagai berikut:

Hukum Acara Tata Usaha Negara


Dari skema di atas, pengertian tindakan hukum tata usaha negara termasuk dalam kelompok tindakan hukum publik yang sifatnya sepihak dan diarahkan kepada sasaran yang individual. Pengertian demikan itu sekarang ini dalam hukum Belanda lebih dipertegas lagi melalui ketentuan AWB (Algemene Wet Bestuursrecht). Dalam AWB, beschikking (KTUN) dirumuskan sebagai “besluit” yang sifatnya individual. Besluit dirumuskan sebagai tindakan hukum publik tertulis.

 

E. Tenggang Waktu Menggugat

            Berdasarkan ketentuan pasal 55, tenggang waktu mengajukan gugatan adalah:

a)      bagi yang dituju dengan sebuah KTUN (pihak II): 90 hari sejak saat KTUN itu diterima;

b)      bagi pihak III yang berkepentingan: 90 hari sejak saat KTUN itu diumumkan.

 

F. Hak Gugat

            Berdasarkan ketentuan pasal 53 ayat 1 yang dapat bertindak sebagai penggugat adalah:

-          orang atau badan hukum perdata

-          yang kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN

dengan demikian harus ada hubungan kausal antara KTUN dengan kerugian atau kepentingan.

 

G. Petitum

            Berdasarkan ketentuan pasal 53 ayat 1, petitum pokok adalah agar KTUN tersebut dinyatakan tidak sah atau batal. Jadi persoalan utama ialah pembatalan KTUN. Sebagai petitum tambahan adalah:

-          ganti rugi, dimana tuntutan ganti rugi dibatasi jumlahnya. Berdasarkan ketentuan PP no 43 tahun 1991 ganti rugi berkisar antara Rp. 250.000,00 sampai Rp. 5.000.000,00

-          rehabilitasi, dimana rehabilitasi hanya berlaku untuk sengketa kepegawaian, yaitu pemulihan hak sebagai pegawai negeri. Dalam hal rehabilitasi tidak dapat dilakukan secara penuh, pejabat yang harus melaksanakan rehabilitasi dapat dibebani suatu kewajiban kompensasi sebesar anatar Rp. 100.000,00 sampai Rp 2.000.000,00

 

H. Alasan Menggugat (Beroepsgronden)

            Berdasarkan ketentuan Pasal 55 ayat 2, dasar pengujian oleh pengadilan terhadap keputusan tata usaha negara (KTUN) yang digugat, adalah:

a)      KTUN yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan:

-          bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat procedural/formal;

-          bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat materiel/subtansial;

-          dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang tidak berwenang.

b)      Badan atau pejabat tata usaha negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut

c)      Badan atau pejabat tata usaha negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut

 

I. Alat Bukti

            Pasal 100 UU No.5 tahun 1986 menyebutkan alat-alat bukti:

a)      surat

b)      keterangan ahli

c)      keterangan saksi

d)     pengakuan para pihak

e)      pengetahuan hakim

Dalam Hukum Acara PTUN yang dipersoalkan ialah sah-tidaknya sebuah KTUN (persoalan rechtmatigheid). Persoalan rechtmatigheid menyangkut alat ukur yaitu: wewenang, prosedur dan substansi. Dalam hal ini yang perlu ialah alat ukur yang digunakan hakim untuk menyatakan suatu KTUN sah atau tidak sah.

 

J. Hukum Acara

            Istilah hukum acara untuk PTUN hendaknya “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara” dan bukan “Hukum Acara TUN”. Penyebutan hukum acara PTUN untuk menunjukkan sifat contentieux, karena dalam hukum acara TUN ada aspek contentieux dan ada aspek non contentieux berupa prosedur pemerintahan misalnya prosedur perizinan.

Hukum acara PTUN dibedakan atas:

a)      hukum acara materil yang meliputi:

-          kompetensi absolut dan relatif

-          hak gugat

-          tenggang waktu menggugat

-          alasan menggugat

-          alat bukti

b)      hukum acara formal (hukum acara dalam arti sempit) berupa langkah-langkah atau tahapan yang terbagi atas:

-          acara biasa

-          acara cepat

-          acara singkat

            Surat-surat penggugat dan tergugat yang berkaitan dengan sengketa TUN adalah:

Hukum Acara Tata Usaha Negara


K. Banding

            Arti banding, yaitu merupakan pemeriksaan dalam instansi (tingkat) kedua oleh sebuah pengadilan atasan yang mengulangi seluruh pemeriksaan, baik yang mengenai fakta-faktanya, maupun penerapan hukum atau undang-undang.

            Agar perkara itu diperiksa kembali di pengadilan tinggi tata usaha negara, harus ditempuh proses sebagai berikut:

a)      permohonan pemeriksaan banding secara tertulis yang diajukan oleh penggugat dan tergugat selama 14 hari, setelah putusan diberitahukan kepadanya secara sah dan ditujukan kepada pengadilan tata usaha negara (tingkat pertama) yang memutus

b)      membayar uang muka biaya perkara yang besarnya ditaksir oleh Panitera

c)      panitera mencatat permohonan itu dalam daftar perkara

d)     panitera memberitahukan hal itu kepada terbanding

e)      selambat-lambatnya 30 hari setelah permohonan itu dicatat, panitera memberitahukan kepada para pihak yang berperkara, bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di kantor Pengadilan Tata Usaha Negara (tingkat pertama) dalam tenggang waktu 30 hari, setelah diterima pemberitahuan oleh yang berkepentingan.

f)       para pihak dapat menyerahkan memori banding, dan atau kontra memori banding serta surat keterangan dan bukti kepada panitera, dengan ketentuan bahwa salinan memori dan atau kontra memori diberikan kepada pihak lainnya dengan perantaraan panitera yang memutus

g)      salinan putusan, berita cara dan surat lain yang bersangkutan harus dikirimkan kepada panitera, selambat-lambatnya 60 hari sesudah pernyataan permohonan itu.

            Permohonan pemeriksaan banding itu dapat dicabut oleh pemohon selama hal itu belum diputus. Jika permohonan itu dicabut, maka ia tidak boleh mengajukan lagi walaupun jangka waktu untuk mengajukan banding belum lampau. Demikian pula, bilamana salah satu pihak telah menerima putusan, maka yang bersangkutan tidak dapat mencabut kembali pernyataannya, walaupun jangka waktu untuk mengajukan banding belum lampau.

 

L. Kasasi

            Terhadap putusan tingkat terakhir pengadilan dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi (Pasal 131) kepada Mahkamah Agung, tidak terkecuali untuk pengadilan tata usaha negara. Untuk pemeriksaan kasasi ini Pasal 131 ayat 2 menunjuk pada Pasal 55 ayat 1 Undang-Undang, Nomor 14, Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (LN 1985 No.73-TLN No.3316), yang berbunyi:

“Pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh Pengadilan di Lingkungan Pengadilan Agama atau yang diputus oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilakukan menurut ketentuan undang-Undang.” (kursif dari penulis)

            Ketentuan yang menyangkut proses pemeriksaan kasasi untuk peradilan umum itu, dapat dibedakan atas:

a)      pemeriksaan kasasi untuk perkara perdata (Pasal 46 sampai dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 14, Tahun 1985)

b)      pemeriksaan kasasi untuk perkara pidana menggunakan hukum acara, sebagaimana diatur oleh KUHAP (Pasal 54 Undang-Undang Nomor 14, Tahun 1985)

 

M. Peninjauan Kembali

            Istilah “peninjaun kembali” putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam ketentuan perundang-undangan nasional mulai dipakai Pasal 15 Undang-Undang, Nomor 19 Tahun 1964 (LN. 1964: 107-TLN. No.2699).

            Dalam peninjauan kembali terdapat beberapa prinsip di antaranya bahwa permohonan itu:

a)      hanya dapat diajukan satu kali saja;

b)      tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan;

c)      dapat dicabut selama belum diputus, dan bila hal itu terjadi tidak dapat diajukan lagi;

d)     diputus oleh Mahkamah Agung pada tingkat pertama dan terakhir.

 

N. Pelaksanaan Putusan Pengadilan

            Hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (kracht van gewijsde) yang dapat dilaksanakan. Sebelum putusan itu dilaksanakan, terlebih dahulu salinan putusan tadi dikirimkan dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (tingkat pertama), yang mengadilinya dalam jangka waktu selambat-lambatnya 14 hari, terhitung sejak putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap.

            Dalam rangka melaksanakan putusan itu karena gugatan dikabulkan (Pasal 97 ayat 8) yang berarti (para) penggugat harus memenuhi dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya yang dapat berupa:

a)      pencabutan keputusan tata usaha negara, yang bersangkutan (Pasal 97 ayat 9 butir a);

b)      pencabutan keputusan tata usaha negara yang bersangkutan, dan menerbitkan keputusan yang baru (Pasal 97 ayat 9 butir b);

c)      penerbitan  keputusan tata usaha negara dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3 (Pasal 97 ayat 9 butir c);

d)     membayar ganti rugi (Pasal 97 ayat 10 jo Pasal 120);

e)      melakukan rehabilitasi (Pasal 97 ayat 11 jo Pasal 121).

 

O. Peranan Pejabat/Badan TUN dalam Sengketa TUN

            Dalam sengketa TUN badan/pejabat TUN  dapat saja mempunyai peran sebagai:

-          tergugat

-          intervenient

-          saksi

-          kuasa hukum

-          pemegang/penyimpan dokumen (KTUN)

            Sebagai salah satu pihak yang bersengketa, pejabat TUN hanya mungkin berkedudukan sebagai tergugat, dan tidak mungkin sebagai penggugat (pasal 1.6). Dalam hal pejabat/badan TUN mempunyai kepentingan terkait dengan suatu sengketa TUN, dia bisa bertindak sebagai intervevenient yang mempertahankan/membela kepentingannya. Sebagai intervenient mestinya tidak harus bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa, tetapi sebagai pihak yang mandiri dengan kepentingannya sendiri (pasal 83).

            Dalam hal seorang pejabat/badan TUN diminta sebagai saksi, maka yang bersangkutan harus datang sendiri (pasal 93). Kelalaian dalam hal tersebut bisa melahirkan suatu tindakan paksa, yakni hakim dapat meminta bantuan polisi untuk menghadirkan pejabat TUN tersebut (pasal 86). Dalam hal yang menyangkut rahasia jabatan, ada-tidaknya rahasia jabatan tergantung dari penilaian hukum (pasal 89).

            Seorang pejabat bisa menjadi kuasa hukum, misalnya kabag hukum menjadi kuasa hukum dari Bupati KDH sebagai tergugat. Hanya saja perlu diperhatikan bahwa messkipun sudah ada kuasa hukum, hakim berwenang untuk menghadirkan para pihak yang bersengketa (pasal 58). Di samping itu menurut UU no. 5 tahun 1991 (UU Kejaksaan), jaksa dapat mewakili pemerintah dalam perkara perdata maupun dalam sengketa TUN (PERDATUN). Hal itu diatur dalam pasal 27 UU no. 5 1991.

            Pejabat yang sengaja menahan dokumen berupa KTUN (mungkin dengan maksud agar penggugat tidak memiliki bukti berupa KTUN) dapat diperintahkan hakim untuk  memperlihatkan dokumen (KTUN) tersebut (pasal 85). Sehubungan dengan itu dalam hal penggugat tidak memiliki dokumen berupa KTUN yang merupakan obyek sengketa, hal tersebut harus diuraikan dalam surat gugatan. Atas dasar itu hakim dapat menggunakan wewenang yang diberikan pasal 85 untuk memerintahkan pejabat yang bersangkutan memperlihatkan atau menyerahkan KTUN tersebut.

 

DAFTAR PUSTAKA

Hadjon, Prof. Dr. Philipus M., S.H. 2002. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar