Status Anak Hasil Zina
Semua madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Malikiy, Syafi?i dan Hambali) telah SEPAKAT bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki, dalam arti dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang menzinahinya dan yang menaburkan benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak tersebut hasil hubungan di luar tirai pernikahan. Di dalam hal ini, sama saja baik si wanita yang dizinai itu bersuami atau pun tidak bersuami. (Al-Mabsuth 17/154, Asy-Syarhul Kabir 3/412, Al-Kharsyi 6/101, Al-Qawanin hal : 338, dan Ar-Raudlah 6/44. dikutip dari Taisiril Fiqh 2/828).
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah -Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam- : “Anak itu bagi (pemilik) firasy dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)” (HR. Bukhari dan Muslim)
Firasy adalah tempat tidur dan di sini maksudnya adalah si istri yang pernah digauli suaminya secara sah atau budak wanita yang telah digauli tuannya, keduanya dinamakan firasy karena si suami atau si tuan menggaulinya atau tidur bersamanya. Sedangkan makna hadits tersebut yakni anak itu dinasabkan kepada pemilik firasy. Namun karena si pezina itu bukan suami maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan penyesalan saja
Ibnu Abdil Barr berkata, Nabi -Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam- bersabda, “Dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan).” Maka beliau menafikan (meniadakan) adanya nasab anak zina di dalam Islam. Jadi sangatlah penting masalah ini untuk diketahui kaum Muslimin, jika anak hasil dari perzinaan di dalam Islam TIDAK BER-AYAH, maka :
·Anak itu tidak saling mewarisi dengan laki-laki itu (yang menzinahi ibunya / yang mengawini ibunya, meskipun berasal dari maninya).
·Bila anak itu perempuan dan di kala dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali hakim, karena dia itu tidak memiliki wali.
Rasulullah -Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam- bersabda, “Maka sulthon (pihak yang berwenang) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.”
Inilah pendapat yang paling Rajih (kuat)!
Adapun Ulama yang berfatwa membolehkan menikahi wanita hamil asalkan yang menikahi adalah lelaki yang telah menghamilinya dan menisbahkan anak yang lahir dari kehamilan tersebut kepada si lelaki yang menghamili adalah FATWA BATIL DAN BERBAHAYA.
BATIL, karena menyalahi Al-Qur’an, As-Sunnah dan Salafush Shaleh.
BERBAHAYA, karena berdampak semakin maraknya perzinaan dan anak-anak yang lahir dari hasil perzinaan disebabkan mereka merasa tenang dan aman karena telah mendapat kemudahan dan dukungan dari fatwa-fatwa tersebut.
cara taubatnya adalah dengan melakukan yg 4 hal di atas (berhenti, mohon ampun dan menyesal serta tdk mengulangi lg) dan didera atau dicambuk sebanyak 100 kali di tempat umum dan dicambuk dibagian pungggung..
Subahanallah, tulang punggung kita ada di wilayah yg cekung, jadi aman ketika dicambuk.. (Islam luar biasa dalam melindungi umatnya). setelah dicambuk 100 kali, lalu keduanya diasingkan selama 1 tahun.
Setelah itu boleh menikah. bagi wanita yg hamil diluar nikah, maka dia tidak boleh menikah dalam keadaan hamil, karena pernikahan tsb tidak sah. Dia harus menunggu sampai bayinya lahir dan menyusui 2 tahun.. dan perlu diketahui bahwa sang bayi tsb benar2 kasihan, karena ayahnya tidak bisa menjadi walinya serta anak tsb kehilangan hak waris. Itulah betapa kejamnya perzinahan diluar nikah. Dia yg menikmati, tapi anak yg menderitra. naudzubillah.
Membandingkan Hukuman Had zina dalam KUHP
Disini kita membandingkan antara hukum di Indonesia dengan hukum pidana islam mengenai kasus zina ini, maka kita akan banyak melihat perbedaan pandangan:
1. Menurut KUHP tidak semua pelaku zina diancam dengan hukuman pidana. Misalnya pasal 284 ayat 1 dan 2 menetapkan ancaman pidana penjara paling lama 9 bulan bagi pria dan wanita yang melakukan zina, padahal seorang atau keduanya telah kawin, dan dalam padal 27 KUH Perdata (BW) berlaku baginya. Ini bisa diartikan bahwa pria dan wanita yang melakukan zina tersebut belum kawin, maka mereka tidak terkena sanksi hukuman tersebut di atas. Tidak kena hukuman juga bagi keduanya asalkan telah dewasa dan suka sama suka (tidak ada unsur paksaan) atau wanitanya belum dewasa dapat dikenakan sanksi, hal ini diatur dalam KUHP pasal 285 dan 287 ayat 1. Sedangkan menurut hukum pidana islam, semua pelaku zina pria dan wanita dapat dikenakan had, yaitu hukuman dera bagi yang belum kawin, misalnya (dipukul dengan tongkat, sepatu, dan tangan). Dan dera ini tidak boleh berakibat fatal bagi yang didera.[8]
2. Menurut KUHP, perbuatan zina hanya dapat dituntut atas pengaduan suami/istri yang tercemar (pasal 284 ayat 2), sedangkan Islam tidak memandang zina sebagai klach delict (hanya bisa dituntut) atas pengaduan yang bersangkutan.
3. Hukum positif KUHP dalam menyikapi masalah perzinahan, ada berbagai variasi hukuman (klasifikasi). Dengan penerapan hukuman yang berbeda-beda yang tertuang dalam KUHP pasal 284 ayat 1dan 2, pasal 285, 286 dan 287 ayat 1. Sedangkan Islam menetapkan hukuman dera jika pelaku zina yang belum kawin dan hukuman rajam jika telah kawin.
““Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Tholaq: 4)
Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
“Dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya.” (QS. Al-Baqarah: 235)
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini: “Yaitu jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas ‘iddah-nya.” Kemudian beliau berkata: “Dan para ‘ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa ‘iddah.”
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَLaki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin.” (QS. An-Nur: 3)
Syaikh Al-Utsaimin berkata, “Kita mengambil dari ayat ini satu hukum yaitu haramnya menikahi wanita yang berzina dan haramnya menikahkan laki-laki yang berzina, dengan arti, bahwa seseorang tidak boleh menikahi wanita itu dan si laki-laki itu tidak boleh bagi seseorang (wali) menikahkannya kepada putri-nya.”
Bila seseorang telah mengetahui, bahwa pernikahan ini haram dilakukan namun dia memaksakan dan melanggarnya, maka pernikahannya tidak sah dan bila melakukan hubungan, maka hubungan itu adalah perzinahan. Bila terjadi kehamilan, maka si anak tidak dinasabkan kepada laki-laki itu atau dengan kata lain, anak itu tidak memiliki bapak. Orang yang menghalalkan pernikahan semacam ini, padahal dia tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya, maka dia dihukumi sebagai orang musyrik. Allah Subhanahu wa Ta\’ala berfirman, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan (sekutu) selain Allah yang mensyari?atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah” (QS: Asy Syruraa : 21)
Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta\’ala menjadikan orang-orang yang membuat syari?at bagi hamba-hamba-Nya sebagai sekutu, berarti orang yang menghalalkan nikah dengan wanita pezina sebelum taubat adalah orang musyrik.
Namun, bila sudah bertaubat, maka halal menikahinya, tentunya bila syarat ke dua berikut terpenuhi.
Kedua: Dia harus beristibra (menunggu kosongnya rahim) dengan satu kali haidl, bila tidak hamil, dan bila ternyata hamil, maka sampai melahir-kan kandungannya.
Rasulullah bersabda: “Tidak boleh digauli (budak) yang sedang hamil, sampai ia melahir-kan dan (tidak boleh digauli) yang tidak hamil, sampai dia beristibra? dengan satu kali haid. “ (Lihat Mukhtashar Ma\’alimis Sunan 3/74, Kitab Nikah, Bab : Menggauli Tawanan (yang dijadikan budak), Al Mundziriy berkata : Di Dalam isnadnya ada Syuraik Al Qadliy, dan Al Arnauth menukil dari Al Hafidz Ibnu Hajar dalam At Talkhish : Bahwa isnadnya hasan, dan dishahihkan oleh Al Hakim sesuai syarat Muslim. Dan hadits ini banyak jalurnya sehingga dengan semua jalan-jalannya menjadi kuat dan shahih.(Lihat Taisir Fiqhi catatan kakinya 2/851.) )
Di dalam hadits di atas, Rasulullah melarang menggauli budak dari tawanan perang yang sedang hamil sampai melahirkan dan yang tidak hamil ditunggu satu kali haidl, padahal budak itu sudah menjadi miliknya.
Juga sabdanya: Artinya, “Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dia menuangkan air (maninya) pada semaian orang lain.” (Abu Dawud, lihat, Artinya: ‘alimus Sunan 3/75-76.)
Mungkin sebagian orang mengatakan, bahwa yang dirahim itu adalah anak yang terbentuk dari air mani si laki-laki yang menzinainya yang hendak menikahinya. Jawabnya adalah apa yang dikatakan oleh Al Imam Muhammad Ibnu Ibrahim Al Asyaikh , “Tidak boleh menikahi-nya sampai dia taubat dan selesai dari ?iddahnya dengan melahirkan kandung-annya, karena perbedaan dua air (mani), najis dan suci, baik dan buruk dan karena bedanya status menggauli dari sisi halal dan haram.”
Ulama-ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah menga-takan, ?Dan bila dia (laki-laki yang menzinainya setelah dia taubat) ingin menikahinya, maka dia wajib menung-gu wanita itu beristibra? dengan satu kali haidl sebelum melangsungkan akad nikah dan bila ternyata dia hamil, maka tidak boleh melangsungkan akad nikah dengannya, kecuali setelah dia melahirkan kandungannya, berdasar-kan hadits Nabi yang melarang seseorang menuangkan air (maninya) di persemaian orang lain.
Bila seseorang nekad menikahkan putrinya yang telah berzina tanpa beristibra terlebih dahulu, sedangkan dia tahu bahwa pernikahan itu tidak boleh dan si laki-laki serta si wanita juga mengetahui bahwa itu adalah haram, maka pernikahannya itu tidak sah. Bila keduanya melakukan hubungan badan maka itu adalah zina. Dia harus taubat dan pernikahannya harus diulangi, bila telah selesai istibra? dengan satu kali haidh dari hubungan badan yang terakhir atau setelah melahirkan.
Sumber Rujukan:
Minhajul Muslim.
Taisiril Fiqhi Lijami’il Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyyah, Ahmad Muwafii 2/584, Fatawa Islamiyyah 3/247, Al Fatawa Al Jami\’ah Lil Mar\’ah Al Muslimah 2/5584.
Fatawa Islamiyyah 3/246.
allahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لاَ يَحِلُّ لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ يَسْقِىَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ
“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan airnya pada tanaman orang lain” (HR. Abu Daud :2160, Ahmad :17031, Ath Thabrani :4355. Dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa:5/141 no 1302)
Dalam hadits yang lain dari Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لاَ تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً
“Wanita yang hamil tidak boleh digauli (jima’) sampai ia melahirkan, dan yang tidak hamil tidak boleh digauli sampai setelah datangnya satu kali haid.” (HR. Abu Daud : 2159, Di shahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Irwa’ : 7/214 no : 2138) wallahu a’lam bis shawwab
“Kita mengambil dari ayat ini (maksudnya An-Nuur : 3) satu hukum yaitu haramnya menikahi wanita yang berzina dan haramnya menikahkan laki-laki yang berzina, dengan arti, bahwa seseorang tidak boleh menikahi wanita itu dan si laki-laki itu tidak boleh bagi seseorang (wali) menikahkannya kepada putri-nya. Bila seseorang telah mengetahui, bahwa pernikahan ini haram dilakukan namun dia memaksakan dan melanggarnya, maka pernikahannya tidak sah dan bila melakukan hubungan, maka hubungan itu adalah perzinahan.”
Bila terjadi kehamilan, maka si anak tidak dinasabkan kepada laki-laki itu atau dengan kata lain, anak itu tidak memiliki bapak. Orang yang menghalalkan pernikahan semacam ini, padahal dia tahu bahwa Alloh Subhanahu wa Ta'ala telah mengharamkannya, maka dia dihukumi sebagai orang musyrik.
Allah Ta’ala berfirman :
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan (sekutu) selain Alloh yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syruraa : 21)
Jika wanita yang hamil tadi ingin dinikahi, sang pria harus istibra’ (menunggu kosongnya rahim) serta menunggunya sampai 1 kali haidh. Dan harus bertaubat sebelum menikah!!!
Di dalam Kitab Fatawa Wa Rasail Asy-Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim juz 10/128, Al-Imam Muhammad Ibnu Ibrahim Alu-Syaikh berkata, “Tidak boleh menikahinya sampai dia taubat dan selesai dari ‘iddahnya dengan melahirkan kandungannya, karena perbedaan dua air (mani), najis dan suci, baik dan buruk dan karena bedanya status menggauli dari sisi halal dan haram.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar